Suatu
saat, setelah melaksanakan shalat ashar di masjid Quba, seorang sahabat
mengundang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beserta jamaah untuk
menikmati hidangan daging unta di rumahnya. Ketika sedang makan, ada tercium
aroma tidak sedap. Rupanya diantara yang hadir ada yang buang angin. Para
sahabat saling menoleh. Wajah Rasulullah sedikit berubah tanda tidak senang.
Maka tatkala waktu sholat maghrib hampir masuk, sebelum bubar, Rasulullah
berkata: "Barangsiapa yang makan daging unta, hendaklah ia
berwudhu!". Mendengar perintah Rasulullah tersebut maka seluruh jamaah
mengambil air wudhu. Dan terhindarlah aib orang yang buang angin tadi.
Aib
adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui
oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek
sikologi yang negatif jika tersebar.
Namun
banyak kita dapati di tengah keseharian kita, pembicaraan dan obrolan itu
sepertinya tidak asyik kalau tidak membicarakan aib, cacat dan kekurangan yang
ada pada orang lain, padahal obrolan itu bukanlah perkara ringan dalam
pandangan Islam.
Ajaran
Islam melarang keras aib seseorang diceritakan, dan tidak boleh sekali-kali
menyebarkan tentang apa atau bagaimana kondisi yang tidak baik tentang
seseorang, bahkan islam mengajarkan untuk menutupinya. Allah berfirman dalam
Surat Al Hujarat ayat 12 yang artinya:
"Wahai
orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena
sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu
mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging
saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu,
jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya: "Wahai orang yang
beriman dengan lisannya, tetapi tidak beriman dengan hatinya. Janganlah kamu
mengumpat kaum muslimin dan janganlah mengintip aib mereka, maka barang siapa
yang mengintip aib saudaranya, niscaya Allah akan mengintip aibnya dan siapa
yang diintip Allah akan aibnya, maka Allah akan membuka aibnya meskipun
dirahasiakan di lubang kendaraannya." (HR. at-Tirmidzi)
Bahkan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam juga melarang seseorang untuk membuka
aib dirinya sendiri kepada orang lain, sebagaimana sabdanya: "Setiap
umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan
termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di
malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah
melakukan ini dan itu –padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia
membuka tutupan Allah atas dirinya." (HR. Bukhori Muslim)
Sebaliknya,
Rasulullah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang menutup aib
saudara-saudara mereka, dengan menutup aib mereka di dunia dan akhirat, seperti
dalam hadits shahih: "Dan barangsiapa yang menutup aib seorang
muslim, niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan akhirat." (HR. Muslim)
Adapun
aib yang ada pada seseorang bisa dibagi menjadi dua kategori:
Pertama,
aib yang sifatnya khalqiyah, yaitu aib yang sifatnya qodrati dan bukan
merupakan perbuatan maksiat. Seperti cacat di salah satu organ tubuh atau
penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain.
Aib
seperti ini adalah aurat yang harus dijaga, tidak boleh disebarkan atau
dibicarakan, baik secara terang-terangan atau dengan gunjingan, karena
perbuatan tersebut adalah dosa besar menurut mayoritas ulama, karena aib yang
sifatnya penciptaan Allah yang manusia tidak memiliki kuasa menolaknya, maka
menyebarkannya berarti menghina dan itu berarti menghina Penciptanya. (Imam al
Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin).
Kedua,
aib berupa perbuatan maksiat, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau
terang-terangan.
Maksiat
yang dilakukan sembunyi-sembunyi juga terbagi menjadi dua:
Pertama:
Perbuatan maksiat yang hanya merusak hubungannya secara pribadi dengan Allah
seperti minum khamr, berzina dll. Jika seorang muslim mendapati saudaranya
melakukan perbuatan seperti ini hendaklah ia tidak menyebarluaskan hal
tersebut, namun dia tetap memiliki kewajiban untuk melakukan amar ma'ruf dan
nahi mungkar.
Imam
Syafi’i berkata, “Siapa yang menasehati saudaranya dengan tetap menjaga
kerahasiaannya berarti dia benar-benar menasehatinya dan memperbaikinya. Sedang
yang menasehati tanpa menjaga kerahasiaannya, berarti telah mengekspos aibnya
dan mengkhianatinya." (Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi).
Kedua:
Perbuatan maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi tapi merugikan orang lain
seperti mencuri, korupsi dan lain sebagainya. Maka perbuatan seperti ini
diperbolehkan untuk diselidiki dan diungkap, karena hal ini sangat berbahaya
jika dibiarkan, karena akan lebih banyak lagi merugikan orang lain.
Sebuah
kisah masyhur yang ditulis oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab
"Tawwabin" dapat dijadikan pelajaran bagi kita untuk menutup aib diri
sendiri dan aib orang lain serta mengakuinya dihadapan Allah dengan bertaubat
atas dosa tersebut.
Disebutkan
bahwa pada zaman nabi Musa 'alaihis salam, Bani Israil ditimpa musim kemarau
yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka
berkata , "Wahai Kaliimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan
hujan kepada kami." Maka berangkatlah nabi Musa 'alaihis salam bersama
kaumnya menuju padang pasir yang luas bersama lebih dari 70 ribu orang.
Mulailah mereka berdoa dengan kondisi yang lusuh penuh debu, haus dan lapar.
Nabi
Musa as berdoa, "Wahai Tuhan kami turunkanlah hujan kepada kami,
tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah anak-anak dan orang-orang yang mengandung,
hewan-hewan dan orang-orang tua yang rukuk dan sujud."
Setelah
itu langit tetap saja terang benderang, matahari pun bersinar makin kemilau.
Kemudian Nabi Musa as berdoa lagi, "Wahai Tuhanku berilah akmi
hujan".
Allah
pun berfirman kepada Nabi Musa as, "Bagaimana Aku akan menurunkan hujan
kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat
sejak 40 tahun yang lalu. Keluarkanlah ia di depan manusia agar dia berdiri di
depan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian.
"
Maka
Nabi Musa as pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, "Wahai hamba yang
bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, keluarlah ke hadapan kami, karena
engkaulah hujan tak kunjung turun."
Seorang
laki-laki melirik ke kanan dan kiri, maka tak seorang pun yang keluar di depan
manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud.
Ia
berkata dalam hatinya, "Kalau aku keluar ke depan manusia, maka akan
terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan
turun. "
Maka
kepalanya tertunduk malu dan menyesal, air matanya pun menetes, sambil berdoa
kepada Allah, "Ya Allah, Aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun,
selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sungguh sekarang aku bertobat kepada-Mu,
maka terimalah taubatku. "
Belum
selesai ia mengakhiri doanya maka awan-awan tebalpun bergumpal, semakin tebal
menghitam lalu turunlah hujan.
Nabi
Musa as pun keheranan dan berkata, "Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan
kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di depan manusia."
Allah
berfirman, "Aku menurunkan hujan karena seorang hamba yang karenanya hujan
tak kunjung turun."
Nabi
Musa as berkata, "Ya Allah, Tunjukkan padaku hamba yang taat itu."
Allah
berfirman, "Wahai Musa, Aku tidak membuka aibnya padahal ia bermaksiat
kepada-Ku, apakah Aku membuka akan aibnya sedangkan ia taat kepada-Ku?!"
Setiap
orang pasti memiliki kekurangan, cela dan dosa tertentu pada dirinya, maka
suatu aib yang ada pada seseorang dapat dijadikan pelajaran bagi orang lain
untuk dapat belajar dan memperbaiki diri agar tidak melakukan hal serupa yang
akan menimpa dirinya dan orang lain akibat perbuatannya tersebut.
Maka
beruntung dan berbahagialah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri dari
disibukkan dengan aib orang lain. Begitulah Rasulullah Saw menyampaikan dalam
sabdanya: "Berbahagialah orang yang disibukkan dengan aibnya sendiri,
sehingga ia tidak sempat memperhatikan aib orang lain." (HR Al-Bazzar
dengan Sanad hasan).
Juga Hadrotul Mukarrom Mbah KH.
Abdul Madjid Ma'roef QS wa RA sering dawuh: "monggo sami ngilo githokipun
piyambak-piyambak". (dawuh ini sering juga diingatkan oleh Hadrotul
Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA)
Dalam bahasa Indoesia "mari kita bercermin tentang tengkuk kita sendiri-sendiri", insya Allah mempunyai makna tersirat: kita diajak untuk melihat dan mengetahui tentang diri kita lebih jauh. Selain ada kebaikan ada juga aib dan kekurangan serta kelemahannya. Kita diajak untuk menyadari akan aib, kekurangan dan kelemahan kita sendiri untuk kita taubati dan kemudian kita perbaiki.
Dalam bahasa Indoesia "mari kita bercermin tentang tengkuk kita sendiri-sendiri", insya Allah mempunyai makna tersirat: kita diajak untuk melihat dan mengetahui tentang diri kita lebih jauh. Selain ada kebaikan ada juga aib dan kekurangan serta kelemahannya. Kita diajak untuk menyadari akan aib, kekurangan dan kelemahan kita sendiri untuk kita taubati dan kemudian kita perbaiki.
Mujahadah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar