LARILAH KEMBALI KEPADA ALLAH

Larilah Kembali Kepada Allah photo faringfirrugraveigravelaringllaringh_zpsb9f801c3.gif
Bacalah Selalu Lisan Maupun dalam Hati "YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH"

Jumat, 21 Mei 2010

RASULULLAH SAW SEBAGAI SAKSI

Allah SWT berfirman:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”. (QS. al-Baqoroh; 2/143)

Firman Allah: syuhadaa-a 'alan naas sebagai saksi untuk manusia, maksudnya; Rasulullah SAW dan sebagian umatnya akan menjadi saksi di akherat kelak untuk manusia, juga untuk para Nabi terdahulu dan umatnya. Hal tersebut dinyatakan oleh sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhori RA dari Abi Said al-Khudri RA Rasulullah SAW bersabda:

“Nabi Nuh AS dipanggil menghadap dan Allah swt. bertanya: “Adakah sudah engkau sampaikan?”, Beliau menjawab: “Benar”. Maka Allah swt. bertanya kepada umatnya: “Apakah sudah sampai kepadamu?”, mereka menjawab: “Tidak ada satu peringatanpun yang datang”. Allah Ta’ala bertanya lagi: “Apakah engkau mempunyai saksi ?”, maka mereka menjawab: “Muhammad dan umatnya”. Kemudian Nabi SAW dan umatnya bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Nuh AS sudah menyampaikan. Dan jadilah Rasul menyaksikan kepada kalian.

Selasa, 04 Mei 2010

MENGAPA MANUSIA DIHIDUPKAN?


Seorang sahabat bertanya:
"Dilema Hidup, coba renungkan! Kenapa kita dihidupkan? Kita langsung dihidupkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, tanpa sadar kita telah menerima tanpa pilihan yang lain. Kalau kita berbuat baik dan akan masuk surga (di sana kita akan merasakan kebahagiaan). Kalau kita berbuat buruk, akan dimasukan ke neraka (di sana kita akan merasa kepedihan). Saya bingung.. Kenapa Tuhan tidak memberi kita pilihan untuk tidak hidup? Jadi kita tidak perlu tahu apa itu kebahagian & kepedihan (Netral). Kita langsung dihidupkan, dan kalau sudah hidup harus pilih jalan baik atau jalan benar. Kenapa ya Tuhan langsung menghidupkan manusia? Sejujurnya kalau saya dikasih pilihan seperti itu, saya lebih baik milih menjadi "kosong" (tidak hidup). Karena sekarang saya tidak tahu akan masuk surga atau neraka. Akan melakukan hal baik agak susah, sering nya melakukan hal buruk. Jadi, kenapa sih kita langsung terjebak dalam dilema ini?"

Mengomentari pertanyaan sahabat kita di atas, maka kita sadar bahwa sebagai makhluk yang diberi akal tentu sempat bertanya seperti halnya sahabat kita tersebut. Memang seakan bernada protes kepada Tuhan (Allah SWT). Tapi hal tersebut adalah suatu kewajaran sebagai manusia yang dikaruniai akal dan perasaan (hati). Karena manusia diciptakan oleh Allah SWT, maka tentu jawaban tersebut ada pada-Nya (melalui petunjuk-Nya: Al Qur’an dan As Sunah)
Pertanyaan-pertanyan di atas pun pernah dilontarkan oleh para Malaikat Allah sebelum kita diciptakan.
''Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'' Mereka berkata: ''Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?''. Tuhan berfirman: ''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui'' (Al-Baqarah:30)
Dari ayat di atas, jelas dan langsung dijawab oleh Allah SWT secara absolut, karena memang Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui apa pun yang akan terjadi sebelum dan sesudahnya.
Ibnu Jarir berkata, ''Sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya malaikat mengatakan hal seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk bertanya ihwal hal itu setelah diberitahukan kepada mereka bahwa khalifah itu terdiri atas keturunan Adam. Mereka berkata, ''Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya?'' Sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara keturunan Adam itu ada yang melakukan kerusakan. Pertanyaan itu bersifat meminta informasi dan mencari tahu ihwal hikmah. Maka Allah berfirman sebagai jawaban atas mereka, Allah berkata, ''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,'' yakni Aku mengetahui kemaslahatan yang baik dalam penciptaan spesies yang suka melakukan kerusakan seperti yang kamu sebutkan, dan kemaslahatan itu tidak kamu ketahui, karena Aku akan menjadikan di antara mereka para nabi, rasul, orang-prang saleh, dan para wali.
Jadi fungsi manusia pertama diciptakan di muka bumi adalah sebagai khalifah di bumi. Hal tersebut bukan berarti Allah membutuhkan bantuan manusia untuk mengatur urusan di bumi, akan tetapi justru kasih sayang-Nya-lah dan menunjukkan keagungan-Nya-lah manusia diciptakan dan atas irodah-Nya pula manusia dianugerahi mengurus bumi. Tentu karena irodah-Nya, maka dalam mengurus bumi ini harus sesuai dengan petunjuk dan sifat-sifat-Nya.
Kemudian Allah swt berfirman dalam Surah Adz Dzariat : 56
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.”
Imam Ali bin Abi Thalib KW wa RA berkata–berkenaan dengan ayat tersebut (Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia) melainkan agar Aku (Allah) memerintahkan mereka untuk menyembah-KU dan mengajak mereka untuk beribadah kepada-KU
Dari buku yang berjudul: Fathul Majid-penjelasan kitab tauhid (membersihkan Akidah dari racun syirik) oleh Syaikh Abdurrahman Al Hasan yang telah diteliti oleh Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baaz, Syaik Abudurrahman Al Hasan menjelaskan bahwa makna ibadah adalah taat kepada Allah dengan menjalankan apa yang telah diperintah-Nya melalui lisan dan perbuatan para Rasul.
Beliau berkata lagi, “Ibadah adalah hal yang mencangkup segala perkataan dan perbuatan, baik yang dhahir maupun yang batin yang dicintai dan di ridhoi oleh Allah SWT.”
Imam Al Qurthubi berkata, “Asal makna ibadah adalah merendahkan diri dan tunduk. Setiap tugas-tugas (amar /perintah) Allah yang dibebankan atas manusia dinamakan ibadah, karena mereka melakukan hal itu secara konsisten dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah Ta’ala. Inilah hikmah diciptakan semua makhluq”.
Ibnu Taimiyah, dalam kitab al-‘Ubudiyah :4, “Ibadah adalah segenap aktifitas kehidupan yang yang dilakukan (dengan cara dan tujuan) yang diredhai Allah, baik perkataan maupun perbuatan, baik lahir maupun bathin.
Shahabat Ibnu Abbas Radliyallohu ‘anhuma seorang mufassir Al Qur’an yang terkenal sejak zaman Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam, menafsirkan kalimat “Liya’buduuni” dalam ayat tersebut dengan “Liya’rifuuni”. Artinya agar supaya jin dan manusia ma’rifat, mengenal atau sadar kepada-KU (ALLOH). Menurut Syekh Al-Kalabi disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, “Liya’buduni” ditafsiri “Liyuwahhiduuni”. Artinya agar men-tauhid-kan (memahaesakan)_AKU. Jadi segala hidup dan kehidupan manusia (dan jin) menurut tafsir ini harus sepenuhnya diarahkan atau sebagai sarana untuk ma’rifat atau mengenal Allah SWT Tuhan yang Maha Pencipta (Buku Kuliah Wahidiyah, Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo – Kediri, hal.92, 1 Muharram 1425 H).
Masih dalam buku Kuliah Wahidiyah, hal. 93-94, Al Mukarrom Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS wa Ra, Mualif Sholawat Wahidiyah memberikan bimbingan praktis dalam pelaksanaan niat beribadah sebagai realisasi dari “liya’buduuni” tersebut, yaitu dengan melatih dan membiasakan dalam hati mengetrapkan “LILLAH”. Artinya (dapat diringkas) segala amal perbuatan lahir maupun batin yang tidak melanggar syari’at hendaknya diniatkan dalam hati melaksankan perintah Allah (Ikhlas).
Jadi jawaban beriktunya, bahwa kita dihidupkan atau diciptakan di dunia ini tidak untuk apa-apa kecuali hanya untuk “liyabuduuni” mengabdi kepada Sang Pencipta (Allah swt). Dalam merealisasikan perintah Allah (ibadah) atau agar segala perbuatan kita baik lahir maupun batin yang kelihatan maupun tersembunyi dapat bernilai ibadah, maka harus ada kesadaran bahwa perbuatan, gerak-gerik, bahkan diam (lahir maupun batin) yang tidak melanggar syara’ diniatkan melaksankan perintah Allah atau mengabdi kepada Allah swt.
Tentang penempatan manusia nantinya akan dimasukkan dalam surga atau neraka Allah swt, itu pun juga hak priogratif Allah swt. Yang jelas kita dihidupkan atau diciptakan di dunia adalah hanya untuk beribadah, lain tidak. Namun kita juga yaqin bahwa janji Allah swt di dalam Al Qur’an adalah benar dan tidak sedikitpun Allah swt mencederainya. Bagi merka yang beramal shaleh disertai keimanan yang utuh, Allah swt menjanjikan tempat yang mulia baik di dunia maupun akhirat. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang hal tersebut, di antaranya adalah:
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS Al-Hajj:14).
Allah swt memberikan kriteria bagi manuasia yang akan dimasukan dalam surga-Nya.
“Wahai jiwa-jiwa yang muthmaninnah. Kembalilah kepada Tuhanmu (Allah) dengan ridla dan diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu. Dan masuklah dalam surgaKu.”(Q.S. Al Fajr : 27-30)
Kata nafs pada akhir surah ini bisa diterjemahkan dengan jiwa, nafs muthmainah berarti jiwa yang tenang. Kata radhiyah berarti ridho atau senang atau rela, selanjutnya yang istimewa adalah ahli surga tersebut -mardhiyyah yang berarti diridhoi (oleh Allah).
Hanya jiwa-jiwa yang muthmainnah-lah yang dipanggil Allah swt. Yaitu jiwa yang senantiasa kembali kepada Tuhannya (Fafirruu Ilallah). Jika jiwa telah tenang (muthmainnah) tentu tiada rasa was-was dan pasti terliputi rasa ridlo dan dianugerahi ridloi Allah swt. Maka jiwa yang seperti itulah akan dimasukkan (pantas) dalam golongan hamba-hamba Allah dan barulah mereka dimasukkan dalam surga-Nya.
Catatan untuk menjadikan jiwa kita muthmainnah, diperlukan suatu proses pendekatan diri kepada Sang Maha Pencipta Jiwa, yakni Allah swt. Proses tersebut biasa kita sebut dengan mujahadah (bersungguh-sungguh memerangi dan menundukkan hawa nafsu (nafsu ammarah bis-suu’) untuk diarahkan kepada kesadaran “FAFIRRUU ILALLOOH WA ROSUULIHI SAW”,) yang kemudian berimplikasi pada ketekunan dan khusu’nya segala aspek ibadah.
Akhirnya, mari kita berdo’a: semoga Allah senantiasa menganugerahkan membukakan hati dan pikiran kita untuk dapat meraskan dan menyuskuri petunjuk-petunjuk dan kasih-sayang-Nya yang terus Ia anugerahkan kepada kita. Amiin...
Segala khilaf mohon maaf, wa jazaakumullaahu khairati wa sa’aadaatid dun-ya wal akhirah.. Amiin.