LARILAH KEMBALI KEPADA ALLAH

Larilah Kembali Kepada Allah photo faringfirrugraveigravelaringllaringh_zpsb9f801c3.gif
Bacalah Selalu Lisan Maupun dalam Hati "YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH"

Jumat, 16 Juli 2010

FILOSOFI DAN JATI DIRI PERJUANGAN WAHIDIYAH

Perjuangan Islam merupakan perjuangan yang utuh, memperjuangkan kesejahteraan lahir dan batin, kesejahteraan dunia dan akhirat, kesejahteraan fisik dan jiwa, sehingga Islam merupakan satu kesatuan konkrit yang multi komplek.
Dengan keberadaannya itu Islam mampu menjawab segala aspek kebutuhan hidup, hajat hidup manusia lahir dan batin, sehingga Islam saat itu mampu mengangkat derajat dan martabat manusia jahiliyah menjadi manusia ilmiyah, manusia yang terisolasi menajdi manusia yang tampil dalam peradaban dunia. Dan tidak ada suatu kehidupan pun yang tidak diangkat oleh Islam. Di bidang Iman, Islam dah Ihsan, baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya, teknologi dan semuanya. Pun pula kehidupan secara pribadi ataupun kehidupan secara sosial. Islam berubah menjadi suatu kekuatan super power pada saat itu.


Mari kita mulai menelusuri perjuangan Islam. Mengapa Islam menjadi suatu perjuagnan yang besar dan raksasa? Lantas ekarang, mengapa umat Islam mundur? Di antara penyebabnya adalah umat Islam saat ini kurang mampu menempatkan diri untuk mengambil apa yang telah dituntunkan Rasulullah SAW.
Islam sangat universal. Tidak hanya bicara masalah iman dan wushul, tidak pula hanya bicara maslah ekonomi. Ibarat manusia, Islam bukan kepala, Islam bukan kaki, tetapi Islam merupakan kesatuan utuh dari kepala sampai kaki. Kehancuran Islam lebih disebabkan karena umat Islam sendiri saat itu telah meninggalkan fundamen yang utama yaitu Iman dan taqwa. Mereka tidak lagi bersyukur atas nikmat Allah, sehingga diambillah nikmat tersebut. Akhirnya ummat Islam menjadi terpuruk dan rendah, walau pada tahun 1400 H telah dicanangkan kembali kebangkitan Islam. Namun hingga kini belum tampak kebangkitan itu, masih semu dan bersifat idealis saja.
Karena, setelah itu (kejayaan Islam) belum ada satu pemimpin Islam yang mampu mengakomodir semua bentuk kebutuhan dan kekuatan yang ada dalam Islam. Satu misal, ada Islam yang bergerak pada ilmu tasawuf saja, karena pemimpinnya seorang ulma’ tasawuf. Ada Islam yang hanya bicara fiqih saja, karena pemimpinya atau imamnya seorang ulama’ fiqih. Ada juga Islam yang bicara filsafat saja, karena dia ahli filsafat dan akhirnya masing-masing gerakan ini terkesan berdiri sendiri-sendiri. Karena belum adanya wadah dan kepemimpinan Islam yang multi komplek seperti yang dituntunkan Rasulullah SAW.
Tokoh Islam seperti Imam Malik RA, Imam Syafi’i RA yang beliau berdua adalah ahli fiqih. Kemudian Imam Bukhori RA, ahli hadits. Punya pengikut dan doktrin sendiri-sendiri. Akhirnya, perjuangan Islam menjelma menjadi perjuangan dengan jama’ah sendiri-sendiri, perjuangan individu. Bahkan masing-masing kelompok tersebut kemudian berkembang menjadi suatu sistem sendiri-sendiri.
Imam Malik RA yang beliau juga sebagai ahli ijtihad dengan ilmu yang dimilikinya menjadi ulama besar. Mengajarkan doktrin pada muridnya, diikuti, dan akhirnya terjadi suatu sistem sosial, madzhab, golongan, kelompok yang disebut, “Malikiyah”. Demikian juga munculnya kelompok madzhab “Syafi’iyyah”.
Setelah mereka muncul, ternyata mereka harus berhadapan dengan suatu bentuk sosial yang tentu masalahnya tidak hanya bicara maslah fiqih, tetapi masalahnya komplek sekali. Akhirnya mereka menjadi bingung. Inilah golongan yang hanya menempatkan fiqih saja dan tidak bicara tasawuf, masalah ekonomi, dan berbagai masalah lainnya.
Namun pandangan orang, melihat Syafi’iyyah adalah Islam, melihat Hanafiyah adalah Islam, orang melihat Qodariayah adalah Islam. Akhirnya orang melihat Islam hanya terbatas pada “bicara” fiqih saja, Islam hanya wiridan saja, Islam hanya topo (‘uzlah) saja, karena mereka hanya melihat dari satu segi dan kesannya itulah Islam.
Ya, mudah-mudahan Perjuangan Wahidiyah yang telah dirintis Mbah Yahi QS wa RA (Muallif Shalawat Wahidiyah) ini merupakan perjuangan untuk mengembalikan Islam yang universal. Karena sampai hari ini belum ada kelompok sosial Islam yang mengakomodir semua aspek kebutuhan hidup dunia dan akhirat. Mengakomodir semua potensi yang ada, baik secara komplek maupun individu menjadi kekuatan Islam yang sempurna, yang mampu menjawab semua tantangan zaman.
Wahidiyah sudah sesuai dengan apa yang dituntunkan Rasulullah SAW. Dimulai dari bicara soal iman, imannya digembleng yang merupakan satu fundamen fisik, dasar sebelum melangkah. Dari iman yang bersifat aqliyah, iman ilmiyah, iman naqliyah. Suatu contoh, seorang melihat matahari, dengan menggunakan akal ditunjang ilmunya, mereka iman kepada yang menciptakan matahari itu. Iman naqliyah, kita iman tetapi ditunjang dengan Al-Qur’an yang menjelaskan adanya Allah dan kekuasaan-Nya. Dan iman musyahadah,, adalah iman yang benar-benar telah mampu menyaksikan Allah dalam setiap dan segala sesuatu.
Pada zaman Rasulullah SAW, iman sahabat pun begitu. Ada yang hanya mencapai iman bil ayat, seperti proses imannya Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Ada yang dengan ilmu, dengan dawuh-dawuh Rasulullah SAW, ada pula yang mampu iman musyahadah.
Rasulullah SAW telah mengajarkan dari iman yang paling rendah hingga iman yang paling tinggi sesuai dengan kekuatan dan kemampuan sahabat untuk menerima apa yang diajarkan Rasulullah SAW mengenai tadi.
Sebagian para ulama, dalam mengajarkan iman ini kepada murid-muridnya, kebanyakan masih pada tignkat iman dasar. Meskipun, ada pula ulama yang mengajarkan sampai pada tingkat iman musyahadah (ma’rifat kepada Allah SWT).
Sebagian ulama yang lain, ada juga yang hanya mampu mengajarkan di bidang iman saja, bidang fiqih dia tidak bisa. Tetapi mereka tidak berbenturan, tidak saling mengejek. “Fiqih itu apa?” Tidak berkata demikian. Karena tidak ada gunanya saling ngelokne (mengejek) yang lain. Sehingga murid-muridnya tidak semacam diisolasi dari dunia fiqih. Tidak juga ada kesan, haya ‘tukang wiridan’, atau ahli tasawuf, atau ahli fiqih saja dan sebagainya.
Di samping itu, ada pula ulama yang beliau ‘allamah, ‘alim ahli fiqih, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Kalau perlu dia mencetak mujtahid fiqih. Ulama yang mujtahid fiqih itu di antaranya Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali (Radliyallahu ‘anhum). Beliau mengajarkan mulai dari ilmu fiqih dasar sampai mujtahid. Tapi beliau tidak bisa mengajarkan tasawuf, karena yang ia tahu hanya fiqih.
Kita tidak perlu saling mendiskriditkan. Yang ahli fiqih mendiskriditkan tasawuf, yang ahli tasawuf mendiskriditkan fiqih. Atau saling memasarkan ilmunya sendiri-sendiri. Hal itu adalah tidak baik. Sehingga Islam bergolong-golong sesuai keahlian para pemimpin, pencetusnya. Inilah keterbatasan mereka. Ia hanya ingin menyuguhkan apa yang dia miliki.
Dalam Islam (setelah Rasulullah SAW) belum tampil seorang Imam yang mampu mengakomodir/memenej semua kemampuan, potensi dan keahlian yang ada. Ini karena berangkat dari psikologinya orang-orang Islam sendiri. Ada yang dia berangkat dari seorang politisi, moderat seperti Jamaludin Al-Afghani. Dia bukan ahli fiqih, dia hanya ahli di bidang tasawuf. Karena kenyataannya pada waktu itu banyak orang-orang tasawuf yang enggan bersosial. Wiridan dalam masjid saja, masyarakatnya bodoh, maysarakatnya dijajah Inggirs dan diam saja. Ini jaman Jamaludidin Al-Afghani. Melihat sisi kelemahan ini, maka dia muncul, dia bangkit. Akhirnya dia mengadakan kampanye besar-besaran. Jamaluddin Al-Afghani menarik murid-muridnya ke dalam politik. Itu pun hanya politik saja. Dia tidak bisa mengajarkan fiqih, ekonomi, dan lainnya. Pada akhirnya mereka hanya bisa berpolitik dan merdeka, tetapi tidak bisa membangun ekonomi, karena berangkatnya memang dari satu sisi ke satu sisi lain. Itulah nasib perjuangan Islam sejak jaman jatuhnya perjuangan Islam sampai sekarang.
Alhamdulillah, Mbah Yahi Qs wa RA (Muallif Shalawat Wahidiyah) mencoba dengan sisi lain, ingin menampilkan Islam dalam arti seutuhnya, yaitu dengan Yuktikulla dzii haqqin haqqoh. Yang dimulai dari basic, yaitu bukan hanya iman ilmiah tetapi sampai iman musyahadah.
Maka Pengamal Wahidiyah semuanya sesuai dengan tingkat dan kemampuannya, apakah dia ‘Arifin, muhibbin atau wallahu a’lam, akan dituntun Mbah Yahi QS wa RA hingga mencapai iman yang kamil, bahkan mukamil. Tinggal Anda semua, apakah mau dituntun Mbah Yahi mencapai kamil atau tidak? Tergantung..! Tapi sarana dan prasarana telah disediakan Mbah Yahi yang memungkinkan kita untuk menjadi iman yang kamil mukamil.
Di samping itu, Mbah Yahi tidak hanya bicara iman, seperti ulama yang lain. Tetapi seluruhnya, harus seperti Rasulullah SAW dengan pandangan “Yukti kulla dzii haqqin haqqoh", mengisi segala bidang-bidang kehidupan dan kewajiban kita sesuai porsi atau haknya. Baik itu ukhrawiyah atau duniawiyyah. Pengamal Wahidiyah di samping Lillah sebagai fundamen dasar, iman wa ittaqullah, iman dan taqwa.
Kemudian ilmu pengetahuan dikejar, karena untuk ibadah kepada Allah SWT kita butuh ‘ilmu ubudiyah dhahiriyah, yaitu fiqih. Oleh karena itu fiqih juga dijalankan dalam Perjuangan Wahidiyah. Sebab tanpa ilmu fiqih, kita tidak bisa ibadah (ubudiyah dhahiriyah) kepada-Nya secara tepat.
Perjuangan Wahidiyah bukan hanya iman dan ubudiyah dhahiriyah saja. Sarana ibadah harus ada, yaitu materi. Karena itu harus dibangun sarana dan prasarana yang bersifat materi. Membangun ekonomi dan kebutuhan perlu ilmu pengetahuan. Setelah dibangun pengetahuan, punya ilmu pengetahuan, perlu suatu gerak, gerak ekonomi. Yaitu gerak untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup. Makanya ekonomi merupakan suatu proses untuk memenuhi hajat hidup. Kalau orang punya ilmu ekonomi saja tapi tidak mendapat gerak ekonomi, maka dia tidak akan mendapat hajat hidup. Lihat saja, dokter-dokter, ahli ekonomi, kalau mereka itu tidak nyambut gawe (bekerja), sekalipun punya ilmu ekonomi, ilmu kedokteran dan sebagainya, ya panggah melarat (tetap miskin). Dia hanya punya ilmu digowo ngalor-ngidul (dibawa kesana-kemari).
Maka ilmu dibangun, ekonomi dibangun, kemudian ini dimanfaatkan dalam suatu kehidupan. Karena itu dibutuhkan suatu gerak yang bersifat membangun ilmu ekonomi itu tadi. Terpenuhilah, terbangunlah ekonomi, terbangunlah segala-galanya. Kemudian juga di dalam gerak ekomomi itu perlu adanya suatu ilmu akuntansi, ilmu manajemen dan sebagainya. Dalam kehidupan juga perlu dibangun budaya, seni dan sebagainya. Kita bangun semuanya yang berdasarkan iman dan taqwa.
Namun semua tidak semudah yang kita bayangkan. Untuk mencapainya perlu adanya aturan, perlu suatu lembaga yang kuat, suatu kepemimpinan yang mantap, mempunyai suatu ilmu pengetahuan yang bagus, SDM yang baik dan semua aspek-aspek yang diperlukan. Karena itu Perjuagnan Wahidiyah harus sesuai dengan Islam yang digali pada jaman Rasulullah SAW.
Kalau melihat Islam itu hanya dari segi kethu (kopyah)nya saja, itu bukan Islam. Hanya kuping saja, itu bukan Islam. Kalau orang Wahidiyah hanya wiridan saja, itu bukan pengamal Wahidiyah, kata Mbah Yahi. Itu kurang yukti, hanya ekonomi saja, juga bukan pengamal. Wahidiyah harus universal. Tapi karena tidak mungkinnya seseorang memiliki kemampuan yang komplek, maka perlu adanya suatu pembagian skill atau keahlian.
Nah, dalam Perjuangan Wahidiyah itulah yang mengakomodir potensi ilmu, potensi SDM yang ada, potensi investasi yang ada yaitu melalui Yayasan kita. Karena itu, struktur organisasi Wahidiyah harus sesuai dengan kebutuhan, di mana kita membutuhkan secara universal, semua aspek kehidupan. Seperti halnya negara membutuhkan semua aspek seutuhnya, ini dawuhnya Mbah Yahi. Sehingga Wahidiyah nanti bisa dijadikan satu kesatuan Islam. Dari mulai kepala, ada matanya, ada kupingnya, ada gulu-nya (leher), ada jantungnya, ada ususnya, itulah manusia. Selama belum seperti itu, belum bisa disebut manusia, belum bisa disebut perjuagnan Islam sebagaimana yang diperjuangkan Rasulullah SAW. Ini pengetahuan basic secara filosofis. Terutama para personil perjuangan pusat, secara filosofis ini, harus memahami, karena ini adalah jati diri kita yang sesungguhnya. Kalau kita tidak memahami, maka orang tidak akan mengenal jati diri. Kalau orang tidak memahami jati diri, maka orang itu kabur, melayang-layang dalam halunisasi.
Untuk itulah adik-adik para personil, fahamilah Wahidiyah itu bagaimana? Apa yang dikehendaki Mbah Yahi? Apa wiridan saja? Atau ekonomi saja? Apa sekolah saja? Islam adalah segala apa yang disampaikan, apa yang disyari’atkan Rasulullah SAW kepada para sahabat-sahabatnya. Begitu pula Wahidiyah.
Karena secara perorangan tidak mampu, secara lembaga kita harus menangkap apa yang diberikan Allah SWT sesuai dengan kemampuan masing-masing, sesuai dengan Perjuangan Islam yang digali oleh Rasulullah SAW. Jika demikian, nanti kita mampu memperjuangkan apa yang dikehendaki Mbah Yahi. Insya Allah, saya khusnul yaqin, inilah islam seutuhnya yang belum terjadi setelah kalah dalam Perang Salib.
Sepengetahuan saya, mulai jaman Jamaluddin Al-Afghani, Abdullah bin Abdul Wahab, Ibnu Sina sampai Ibnu Taimiyah, Imam Asy’ari dan Maturidzi, apa itu Mu’tazilah, apa itu Syi’ah, Qodariyah, Naqshabandiyah dan sebagainya, semua belum konkrit. Mungkin kalau ada yang tahu saya minta informasi, karena saya ndak (tidak) pernah baca. Hanya dengar dari cerita orang, saya terima kasih kalau diberitahu. Tapi maaf ini secara radikal, ini secara ilmiyah dan Wahidiyah mencoba ke sana, yakni “yukti kulla dzii haqqin haqqoh ". Kelihatannya hanya “yukti kulla dzii haqqin haqqoh". Ini secara filosofis. Sebetulnya ini sangat luas sekali. Seluas dan sedalam modal Anda dalam memahami filsafat ini. “Yukti kulla dzii haqqin haqqoh" kesannya hanya beberapa kata saja. Tapi ini sangat luas dan dalam sekali. Seluas dengan ilmu yang Anda miliki. Kalau Anda ilmunya sedikit, otomatis, pemahamannya ya pendek.
Ya, Alhamdulillah, kita pun telah membentuk suatu Yayasan Perjuangan yang secara struktural telah kita tata konstruksinya sesuai Perjuangan Wahidiyah secara Universal. Sistem kita secara departemen-departemen. Departemen-departemen ini bertanggung jawab dengan bidang-bidang dan tugas masing-masing. Dan depertemen ini dibentuk tidak terbatas, sesuai dengan kebutuhan perjuangan. Dan ini mudah-mudahan diridloi Allah SWT, tidak lama lagi diijabahi oleh Allah SWT. Amiin.. amiin.. ya rabbal ‘alamiin.
Setelah secara basic telah dibangun dan kita telah menyusun suatu lembaga, kita jgua telah mengisi bidang iman, kita telah digembleng oleh Mbah Yahi. Mbah Yahi dawuh bahwa iman adalah fadlal dari Allah SWT, pemberian dari Allah SWT. Karena itu kita harus senantiasa mendekat keapda Allah sampai mendapat iman musyahadah. Walau mujahadah kita tidak berpengaruh terhadap iman kita, tapi kita diperintah “ud ‘uunii astajib lakum". Bahwa kita harus senantiasa meningkatkan mujahadah untuk mencapai iman yang musyahadah tersebut. Sebagaimana tokoh-tokoh besar Islam, di dalam wushul kepada Allah, mereka tidak lepas dari me-ngetok (menguras) kekuatan bathiniyahnya. Seperti yang disebutkan tadi oleh K. Surahmat (pengisi kuliah Wahidiyah, red), Imam Ghozali ini ngebleng, ngalong( 'uzlah ) di Menara Baghdad selama 3 tahun tidak keluar. Dia tinggalkan alam dunia untuk mencapai klimaks yang dicari.
Nuwun sewu, begitu pula seorang ilmuwan, dia ingin menjadi ilmuwan yang tinggi, mulai muda tidak banyak bergaul, apalagi mabuk-mabukan. Tidak pernah mengerti. Sekolah thok ! Umur 30 – 40 tahun menjadi Profesor. Contoh itu Habibi. Siapa itu anaknya (yang dimaksud adalah Ilham Habibi, red.), dia Insinyur, umur 27 tahun S-2, umur 29 tahun S-3, umur 35 tahun dia Profesor. Bagaimana mungkin waktunya untuk senang-senang. Dan tentunya itu harus didukung dengan otak yang tinggi, dana dan masih banyak lagi syaratnya. Ini untuk mencapai ilmu yang tinggi, harus meninggalkan kepentingan yang lain, seperti juga halnya Iman Ghazali tadi. Dia ‘uzlah di menara Baghdad selama 3 tahun.
Sulitnya orang mempunyai dua keahlian, maka umumnya orang tasawuf tidak ‘alim. Kalau mereka ‘alim (umumnya disebut alim karena ahli di bidang fiqih), tidak punya ilmu tasawuf. Lihat Imam Al Ghazali. Setelah tua, ia masih mengejar ilmu. Pada akhirnya beliau ‘uzlah untuk mencapai klimaks (umur 55 tahun).
Imam Syafi’i RA, tidak ahli tasawuf, Syaikh Abdul Qodir Al Jailani tidak ‘alim (ahli fiqih), hanya lebih menonjol di bidang tasawuf. Dan ini bukan berarti tidak bisa ngaji ? Artinya tidak standart pada orang-orang yagn disebut ‘alim tadi. Dalam ilmu pengetahun umum juga begitu, Habibi pandai, tapi kalah oleh Kyai kalau perkara ngaji kitab.
Untuk itulah kita minta pada orang-orang kita untuk menggali suatu keahlian yang kita miliki. Dengan keistimewaan atau skill yang kita miliki, kalau digosok (diasah) terus, artinya ditekuni, akan mengkilap seperti halnya batu akik zamrud, ataupun merah delima. Kalau tidak digosok? Ya, tidak laku dijual.
Begitu pun kita yang punya keahlian sendiri-sendiri. tunjukkan keahlian Anda. Yang ahli komputer, ahli mesin atau ahli lainnya. Jika digali dengan sungguh-sungguh nanti akan bercahaya. Akan tampak dan dapat dimanfaatkan untuk diri kita dan kepentingan bersama. Secara idealis kita harus punya keahlian.
Kebetulan di pusat ini anaknya muda semua, rata-rata umurnya 35 tahun ke bawah, masa-masa mencari ilmu pengetahuan. Ini saya harapkan di kejar. Kejar meskipun hanya satu, sampai dapat. Seperti Pak Otjien (Pramu Pendidikan Perjuangan Wahidiyah Pusat, ketika itu). Dia Sarjana Hukum, Sarjana Pendidikan dan saya tidak tahu sarjana apalagi. Kemudian saya tanya, “Kamu terlalu banyak sarjana dan sementera ini S-1 semua. Itu keliru besar, kamu harus memilih salah satu”. Akhirnya dia memilih pendidikan. Kemudian dia masuk S-2. Dan di S-2 IP-nya (Indeks Prestasi) 3,9 sehingga mendapat bea siswa dan sekarang mengambil S-3 yaitu program doktor. Itu lebih bagus daripada S-1 sekalipun banyak.
Saya minta juga begitu bagi yang punya keahlian. Harus kuat mujahadahnya, poso 40 dino (puasa 40 hari), poso mutih 3 tahun (puasa mutih 3 tahun), nanti jadi dukun ampuh. Ini dikembangkan.
Setelah perjuangan kita membentuk lembaga yang mantap, yang tentunya didukung suatu dana yang baik, maka kita bergerak. Namun sisi lain masih ada yang harus diperhatikan dalam suatu sistem pelaksanaan itu, antara lain disiplin ilmu. Suatu program bila tidak ada suatu disiplin ilmu tidak bisa berdiri. Ilmu ekonomi tidak bisa tanpa didukung ilmu manajemen. Juga tidak bisa tanpa didukung ilmu matematika. Tidak ada ilmu yang bisa berdiri sendiri dalam suatu mendan. Pasti harus merangkum semua ilmu pengetahuan.
Setelah kita mampu mengetahui ilmu pengetahuan dan mengorganisir, juga belum bisa kalau tidak didukung dengan ilmu nasib. Suatu contoh saja, secara kepemimpinan banyak masyarakat berkata bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono itu belum setaraf Nasional, tapi beliau didukung dengan moral yang tinggi, yakni Kraton Yogyakarta, dia terangkat setaraf Nasional. Sebetulnya belum mampu menyaingi Gus Dur dan Amien Rais. Tapi karena didukung suatu kekuatan batiniyah, maka kepemimpinannya terangkat setaraf Nasional…
Al-Fatihan, Mujahadad…!

(Ditranskrip dari Fatwa dan Amanat Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latief Madjid RA pada acara Mujahadah Syahriyah Personil Perjuangan Wahidiyah Pusat)

Diambil dari Majalah AHAM, edisi 20/Th. III. Mei 1999/Muharram-Shafar 1420 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar