LARILAH KEMBALI KEPADA ALLAH

Larilah Kembali Kepada Allah photo faringfirrugraveigravelaringllaringh_zpsb9f801c3.gif
Bacalah Selalu Lisan Maupun dalam Hati "YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH"

Selasa, 20 Juli 2010

SANG PECINTA SEJATI (Detik-detik Wafatnya Rasuulullah SAW)

“Wahai Umar, demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, engkau belum beriman sepenuhnya sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”

Angin kota Madinah yang menyebarkan hawa dingin tetapi kering dan garang terasa menusuk hingga ke tulang. Matahari sejengkal demi sejengkal makin meninggi. Sementara dengan segala perang perasaan, malakul maut mulai mencabut nyawa Nabi SAW dari kepala.
Nabi SAW merasakan sakit tatkala nyawa Beliau sampai ke pusat. Dahi dan sekujur wajahnya yang mulia bersimbah peluh. Urat-uratnya menegang dari detik ke detik. Sambil menggigit bibir, Nabi SAW berpaling kepada Malaikat Jibril. Matanya basah, cahayanya makin meredup.


Kepada Jibril Beliau berkata, “Ya Jibril, betapa sakit. Alangkah dahsyat derita sakaratul maut ini....”
Jibril cepat membuang mukanya. Hatinya bergolak melihat peristiwa itu.
“Ya Jibril, mengapa engkau berpaling? Apa engkau benci melihat mukaku?” tanya Nabi SAW dengan cemas.
“Tidak, ya Rasulullah,” sahut petugas pembawa wahyu tersebut.
Dipegangnya tangan Nabi yang mulia itu, lalu ia berkata, “Siapakah yang tega hatinya menyaksikan kekasih Allah dalam keadaan semacam ini? Siapakah yang sampai hati melihat engkau dalam kesakitan?”
Agaknya rasa sakit itu kian memuncak. Sekujur badan Nabi SAW menggigil. Wajahnya memutih dan urat-uratnya tambah menegang. Dalam penanggungannya yang amat sangat, Nabi SAW berkata, “Ya Rabbi, alangkah sakitnya. Ya Tuhanku, timpakanlah kesakitan sakaratul maut ini hanya kepadaku, dan jangan kepada umatku.”
Jibril tersentak. Begitu agungnya pribadi Sang Terpilih. Dalam detik-detiknya yang paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan dirinya yang diminta. Melainkan kepentingan umatnya yang didahulukan. Andai kata Nabi Muhammad SAW menuntut agar kesakitan itu dicabut, pastilah Allah SWT akan mengabulkan permintaannya. Namun Beliau lebih memilih permohonan agar derita itu tidak menimpa umatnya. Makhluk mana yang memiliki ketinggian budi seperti Baginda Nabi SAW?
Sementara itu Malaikat Maut telah merenggut nyawa Baginda SAW sampai ke dada. Nafasnya sudah mulai sesak. Tiba-tiba Nabi SAW dengan suara menggigil dan pandangan meredup menengok ke arah sahabat-sahabatnya dan berkata, “Uushiikum bisshalaati wa ma malakat aimanukum (Aku wasiatkan kepada kalian shalat dan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Peliharalah mereka baik-baik).”
Keadaan pun bertambah gawat. Semua sahabat yang hadir menundukkan kepala, saking tidak kuat menahan kesedihan. Badan Baginda SAW berubah menjadi dingin. Hampir seluruhnya tidak bergerak-gerak lagi. Matanya yang berkaca-kaca hanya membuka sedikit. Mata itu menatap ke langit-langit.
Pada saat menjelang akhir napas beliau, Ali bin Abi Thalib KW melihat Nabi SAW menggerakkan bibirnya yang sudah membiru dua kali. Cepat-cepat ia mendekatkan telinganya ke bibir Nabi SAW. Ia mendengar Nabi memanggil-manggil, “Umatiy... umatiy... umatiy… (umatku… umatku.. umatku..)”
Setelah memanggil-manggil inilah Nabi SAW wafat pada Senin bulan Rabi’ul Awwal. Maka meledaklah tangis berkabung ke segenap penjuru. Seorang juru selamat telah mangkat. Cintanya kepada umat dibawanya hingga akhir hayat, dan akan dibawanya sampai ke padang mahsyar.
Peristiwa detik-detik terakhir wafatnya Sang Terpilih sengaja oleh para sahabat tidak dikabarkan kepada Umar Ibnu Khotob RA, karna Umar yang terkenal sangat mencintai Rosulullah SAW melebihi dirinya, keluarga dan nyawanya dikhawatirkan akan mengganggu kekhusukan para sahabat saat-saat terakhir menghormat Rosulullah SAW menuju kesempurnaan Allah SWT. Namun tidak dapat dibendung, kabar wafatnya "Sang Pencinta Sejati" akhirnya terdengar pula kepada Umar RA.
Tentu Umar RA sangat berang.
“Barang siapa yang mengatakan Rosulullah SAW wafat, maka akan aku tebas lehernya”, geram Umar RA.
Sampai suatu saat Abu Bakar Ash-Shidiq RA menghampiri Umar RA dan melerai hati Umar RA yang seakan tidak rela kalau "Sang Pencinta Sejati" itu telah tiada.
Lantas, bagaimana dengan kita, umatnya, yang justru sangat dicintainya? Berkat perjuangan beliau yang tiada lelah, kita dapat mereguk nikmat iman dan Islam. Tegakah kita mengabaikan cintanya?
Pernah suatu ketika dalam suatu riwayat beliau bersabda, “Sungguh aku merindukan mereka.”
Para sahabat terperanjat. Mereka cemburu, karena Rasulullah merindukan orang lain ketimbang mereka.
“Siapa gerangan yang engkau rindukan, ya Rasulullah? Apakah kami?” tanya mereka penasaran.
“Bukan. Kalian adalah sahabatku, kalian berjuang bersamaku. Tentunya aku mencintai kalian.”
“Apakah para malaiakat Allah?”
“Bukan...,” jawab Baginda.
“Lalu siapa, ya Rasulullah?”
“Mereka adalah umatku nanti. Mereka tidak pernah bertemu aku, tapi mereka mengikuti sunnah-sunnahku dengan penuh keimanan. Hati mereka dipenuhi kecintaan kepadaku.”
Siapakah yang dimaksud Rasulullah SAW? Tiada lain adalah umatnya yang hidup berabad-abad setelah Rasulullah wafat. Di antaranya kita.
Semoga kita dapat mencitai dan dicintai Baginda Agung Rasulullah SAW sehingga dapat melaksankan apa-apa yang telah disunnahkan. Amiin… Wallaahul musta’an wa a’lam.

Yaa syaafi'al khalqish sholaatu wassalaam
'alaika nuuralkhalqi haadiyal anaam
wa ashlahuu wa ruuhahuu adriknii
faqod dholamtu abadaw warabbinii
wa laisa lii yaa sayyidii siwaaka
faintaruddakuntu syakhshon haalika
Yaa Sayyidii... Yaa Rasuulallaah....

*)dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar