LARILAH KEMBALI KEPADA ALLAH

Larilah Kembali Kepada Allah photo faringfirrugraveigravelaringllaringh_zpsb9f801c3.gif
Bacalah Selalu Lisan Maupun dalam Hati "YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH"

Selasa, 15 Juni 2010

Jihad Memerangi Hawa Nafsu atau Karena Nafsu?

أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ


“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan dan berjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah (9): 41)

“Sesungguhnya jihad adalah salah satu dari pintu-pintu surga yang mana Allah telah membukakannya secara khusus kepada para kekasih-Nya (awliya’ihi), dan dia itulah yang disebut sebagai libasut taqwa (pakaian takwa), dan baju besi Allah yang kokoh, dan perisai-Nya yang kuat” (Imam Ali KW wa RA, Nahjul Balaghah)


Ashghar Ali Engineer dalam bukunya Real Meaning of Jihad, mengutip kata-kata Al-Raghib al-Isfahani bahwa pertama-tama menjelaskan arti jihad dari akar katanya jahada yang berarti bekerja keras atau melakukan upaya sepenuh tenaga dan kata juhudu yang berarti kesanggupan maksimal seseorang. Kemudian ia melanjutkan penjelasannya tentang jihad wa al-mujahidah yang berarti menghabiskan seluruh tenaga dan upaya semaksimal kemampuannya di dalam mempertahankan dirinya dari serangan musuh.

Al-Raghib membagi jihad di dalam tiga kategori : 1) untuk berjuang melawan musuh yaitu mereka yang tak beriman; 2) melawan terhadap setan dan 3) melawan diri sendiri yaitu: nafsu.

Makna jihad yang secara harfiah adalah upaya keras, dan perang membela diri melawan kaum ingkar, tidak hanya tentang darah dan kematian fisik. Tetapi kesiapan untuk mempertahankan kehidupan tanpa kenal takut oleh sesuatu apa pun kecuali Allah SWT.

Rasulullah SAW tidak menginginkan perang dan kematian atas orang lain. Beliau berusaha menggunakan nalar untuk menghindarinya, namun jika keadaan memaksa (jahada), ia tak gentar untuk mengangkat pedang demi menjaga kehormatan agama dan melindungi kepentingan umat.

Imam Hasan ibnu Ali RA menggunakan nalarnya ketika ia melepaskan khilafah. Imam Hasan memiliki ribuan prajurit tapi ia tahu bahwa mereka tak mungkin mampu bertahan dan gigih. Oleh karena itu ia beranggapan tidaklah bijaksana menggiring mereka ke dalam peperangan sementara mereka tidak akan mampu bertahan, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang dalam.

Jihad di dalam Islam merupakan salah satu ibadah yang mulia dan salah satu pilar dari delapan pilar agama Islam. Jihad sering diartikan seolah-olah hanya merupakan bagian dari ajaran Islam untuk berjuang melawan orang-orang non muslim dan seolah-olah merupakan kewajiban atas umat Islam untuk berjuang melawan orang-orang yang tidak setia terhadap pemerintahan Islam.

Sebenarnya, Jihad memiliki makna yang luas (multi layered), namun sayang oleh sebagian saudara kita hanya diartikan dalam satu sisi pemaknaan, yaitu perjuangan melawan orang-orang yang tidak setia kepada Islam.
Kedangkalan pemahaman akan dasar sejarah awal perkembangan Islam berakibat munculnya banyak kekeliruan didalam penafsiran jihad, sehingga banyak konsep-konsep Islam yang diletakkan tidak pada tempatnya. Hal ini juga menimpa konsep Jihad.

Yang paling utama adalah bagaimana pemahaman yang pas atas konsep jihad dalam situasi historisnya (asbabun nuzul). Dan yang terpenting, diharapkan dari kita tidak selalu meletakkan jihad sebagaimana sejarah memposisikannya, karena banyak konsep-konsep Islam tidak hanya terkait pada pemahaman atas sejarah, tetapi tidak boleh diabaikan juga tinjauan hukum atau fiqih Islam yang mesti menjadi bagian penting untuk memahami dan menerapkannya. Pemahaman Islam yang hanya ditinjau dari satu sisi atau beberapa sisi saja hanya mengakibatkan munculnya pemahaman yang tidak lengkap dan tumpul atau kaku.

Seluruh konsep-konsep Islam tidak bisa tidak harus dipahami secara menyeluruh dari berbagai segi, sehingga ia menjadi suatu ajaran yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan lainnya.

Begitu pun ketika kita mencoba memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berlapis-lapis dan multi dimensi, beberapa adalah historis (sejarah), beberapa sosial, beberapa etis dan hukum dan seterusnya. Hal ini dilakukan agar kita tidak sampai berlaku tidak adil terhadap Al-Qur’an dan tidak menyalahgunakan (melaksanakan) jihad hanya untuk kepentingan pribadi dan hawa nafsu.

Suatu sikap yang hati-hati dalam memahami al-Qur’an dan hadits membuat pemahaman terhadap jihad menjadi lebih jernih dan jauh dari semata-mata kekerasan dan peperangan. Sayangnya, beberapa peperangan yang dilakukan khalifah Islam setelah wafatnya Beliau Rasul SAW telah banyak disimpangkan dari tujuan yang sebenarnya.
Pada masa khalifah pertama, Abu Bakar, terjadi beberapa peristiwa penyalahgunaan jihad seperti pada peristiwa Fuja’ah, juga peristiwa pembakaran Bani Salim yang dilakukan oleh Khalid bin Walid.

Pada masa itu alasan murtad dijadikan alasan untuk bisa melaksanakan jihad. Akan tetapi benarkah orang-orang itu murtad? Dan bolehkah kaum muslimin melakukan pembakaran hidup-hidup sebagai sanksi atas sesuatu yang dianggap melanggar hukum?

Padahal Rasulullah SAW bersabda, “Jangan menyiksa dengan api kecuali Pemiliknya (Allah)!” (Shahih Bukhari 4 : 325, Kitab Jihad : ‘Jangan menyiksa dengan siksa yang hanya Allah saja yang boleh melakukannya’).

Bahkan setelah pemerintahan Abu Bakar, penyalahgunaan jihad semakin banyak dilakukan, terutama pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas. Penyimpangan makna dan penerapan jihad di kemudian hari tampaknya telah diketahui oleh Rasulullah SAW, sehingga karenanya Beliau bersabda ketika beliau melihat pasukan yang kembali dari suatu peperangan, “Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil dan masih tertinggal jihad akbar”. Ketika orang-orang bertanya makna jihad akbar, Rasulullah SAW menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu atau diri sendiri (jihad al-nafs)” (Imam Khamaini: Empat Puluh Hadits, hal. 1)

Hal ini dimaksudkan agar jihad ashghar (jihad kecil) tidak dilakukan kecuali atas dasar pertimbangan religius. Jika jihad kecil (perang) dilakukan tanpa kebersihan jiwa, tanpa niat yang murni semata-mata karena Allah SWT, maka tentulah itu bukan jihad yang dimaksud oleh Islam.

Mungkin salah satu sebab munculnya kaum zaahidin adalah karena kaum zaahidin menjaga dan menjauhkan diri dari perjuangan demi kekuasaan dan usaha para penguasa muslim saat itu pada perluasan wilayah. Mereka, kaum zaahidin menyadari bahaya menyalahgunakan konsep jihad dan pentingnya penekanan aspek sosial dan moral dari jihad. Jihad Akbar (jihad al-nafs) bertujuan untuk mengendalikan hawa nafsu untuk diarahkan pada firman dan ketentuan Allah SWT dan tuntunan (Risalah) Rasullah SAW secara lengkap dan menyeluruh. Imbas (efek) dari Jihad Akbar (jihad al-nafs) adalah terjaganya diri dari sifat-sifat tercela, yang salah satunya adalah sifat tamak, haus kekuasaan dan dhalim.

Adanya Jihad Akbar semata-mata menjadi pijakan untuk tindakan Jihad Ashghar, sehingga jika jihad kecil dilakukan maka tidak boleh keluar dari asasnya yaitu Jihad Akbar.

Penekanan ini sangat diperlukan ketika konsep jihad dengan pedang telah disalahgunakan untuk pertimbangan yang egois (nafsu). Ajaran Moral dan batasan etis yang dikenakan al-Qur’an secara total telah diabaikan oleh para penguasa Islam dan sepasukan tentara mereka untuk memenuhi ketamakan mereka untuk perluasan wilayah. Untuk alasan inilah para Ulama al-Zaahidin turut campur pada langkah ini dan mencoba untuk menerbitkan moral dan dimensi yang etis atas konsep Jihad yang luas dan menyeluruh.

Di dalam Shahih al-Bukhari, bisa kita temukan hadits tentang Miqdad ibn Amr al-Kindi. Ia bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Sekiranya saya berjumpa dengan salah seorang kafir harb dan kami berperang, lantas ia memukul dan melukai salah satu dari tangan saya, bahkan memotongnya dengan pedangnya, kemudian ia berlari dan berlindung di balik pohon sambil berkata,”Aku menyerah kepada Allah!”, apakah boleh saya membunuhnya, setelah ia telah berkata ini, wahai Rasulullah?”
Rasulullah SAW bersabda,”Semestinya kamu tidak membunuhnya” Al-Miqdad berkata,“Wahai Rasulullah, bukankah ia telah memotong tanganku, dan bukankah kata-kata itu hanya untuk melindungi dirinya dari pembalasan saya?” Rasulullah SAW menjawab, “Kamu tidak boleh membunuhnya, karena jika kamu membunuhnya ketika ia berada dalam posisi seperti itu, maka kamu tidak berbeda dengan orang-orang yang kamu perangi” (Ashghar Ali Engineer, Real Meaning of Jihad.)

Dalam riwayat lainnya, peristiwa seperti ini berkenaan dengan Khalid bin Walid yang membunuh musuh yang telah menyerah dan mengucapkan syahadat Islam. Khalid berdalih,”Itu hanya tipu muslihat musuh saja agar ia selamat dari pedangku!” Rasulullah SAW sangat marah dan mengatakan kepada Khalid, “Mengapa tidak kamu bongkar saja dadanya dan kamu korek hatinya? Apakah kamu benar-benar mengetahui isi hatinya?!”

Riwayat-riwayat seperti ini mengajarkan kepada kita bahwa meski dalam peperangan pun, Islam mengajarkan moral yang tinggi, yaitu agar memaafkan musuh dan tidak membenarkan pembalasan dendam.

Penggunaan kekuatan terkadang juga bisa bermoral. ltulah sebabnya Islam menganggap memerangi kekerasan dan tirani itu sebagai kewajiban suci, dan memandang Jihad dan perlawanan bersenjata, dalam keadaan tertentu, sebagai kewajiban. Allah SWT berfirman, "Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang semuanya berdoa,”Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu!” (QS an-Nisâ’: 75)

Ayat ini menekankan kepada kaum muslimin agar berjihad, dengan dua nilai spiritual (1) Gerakan mereka adalah demi atau karena Allah, (2) Orang-orang tak berdaya tengah ditindas oleh orang-orang dhalim, dan kaum muslimin wajib menolong mereka.

Dalam ayat lainnya Al-Qur’an yang suci mengatakan, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, melainkan hanya karena mereka berkata,”Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirubuhkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha-kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah perbuatan yang munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]: 39-41)

Di dalam ayat ini kita lihat bahwa seraya memberikan izin berjihad, disebutkan hak-hak kaum Muslim yang hilang dan pada saat yang sama, juga disebut-sebut sebuah nilai yang lebih tinggi daripada hak-hak yang hilang, dan merupakan dasar pembelaan diri.

Al-Qur’an mengatakan bahwa jika kaum muslimin tidak melakukan jihad, atau tidak berbuat apa-apa, maka keselamatan masjid dan rumah ibadah lainnya, yang menjadi jantung kehidupan spiritual masyarakat, terancam bahaya dan tidak lagi akan berfungsi.

Al-Qur’an juga mengatakan, “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS. an-Nisâ’: 148)
Jelaslah ini merupakan dorongan kepada kaum tertindas untuk melakukan perlawanan.
Rasulullah SAW bersabda, “…maka barangsiapa yang meninggalkan jihad, niscaya Allah pakaikan (pakaian) kehinaan atas dirinya, kefakiran dalam penghidupannya, dan Allah matikan agamanya. Sesungguhnya Allah Tabaraka Ta’ala akan melemahkan umatku karena mereka meninggalkan kuda-kuda mereka dan pos-pos pertahanan mereka” (Bihar al-Anwar 100 : 9)

Sebagian mufassir Al-Qur’an menggambarkan golongan ashhâb al-yamin sebagai ashhâb al-mujâhadah, yakni orang-orang yang berjihad, orang-orang yang terus-menerus berjuang dan bersabar serta ridha dalam menanggung penderitaan mereka.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjumpai Allah tanpa ada bekas jihad maka Allah akan menjumpainya dalam keadaan sumbing” (Kanz al-‘Ummal hadits no. 10495)

Namun hal yang paling penting untuk diperhatikan dari semua yang tertera dalam tulisan ini adalah bahwa jihad ashghar tidak bisa dilakukan kecuali dengan syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam hukum-hukum fiqih. Salah satunya adalah sebagaimana yang dikatakan Imam al-Shadiq as, “Jihad (jihad ashghar) hanya wajib dilaksanakan bersama pemimpin yang adil” (Al-Wasail 11 : 35)


Bila kita terus konsisten mengamalkan Sholawat Wahidiyah dan melaksankan LILLAH-BILLAH, LIRROSUL-BIRROSUL dengan izin-Nya kita yaqin termasuk dalam golongan ashab al-mujahadah. Amiin.. Yaa Rabbal ‘Alamiin…

*) Disadur dari tulisan Ustd. Quito Riantori in About Wahabis-Salafism, Bilik Renungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar