Rasullullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sukses mendidik para
sahabat sebagai orang-orang yang berakhlak tinggi, tidak berbuat semena-mena
dan menjadi rahmatal lil’alamin. Satu kisah yang sangat menarik terjadi pada
masa Kehalifahan Umar bin Khattab r.a. Pada suatu hari Amirul Mukminin ingin
mengetahui tingkah laku dan sifat yang dimiliki oleh dua orang sahabatnya. Dua
orang sahabat ini adalah orang-orang pilihan yang senantiasa menghadiri majelis
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keutamaan keduanya telah
diketahui oleh masyarakat Madinah secara umum. Dua orang ini adalah Ubaidah bin
Jarrah r.a. dan Muaz bin Jabal r.a..
Kisah
bermula dari uang sejumlah 400 dinar yang dimiliki oleh Amirul Mukminin Umar
bin Khattab r.a. dan diberikan kepada Ubaidah bin Jarrah r.a. Sahabat melihat
ada uang yang begitu banyak di dalam rumahnya maka Ubaidah bin Jarrah
memerintahkan pelayannya untuk membawa uang itu. Pelayan itu membagikan kepada
setiap orang masing-masing 6 atau 7dinar. Tidak ada sisa sedinar pun di kantong
yang dipakai untuk membungkus uang itu sebelumnya. Pelayan dari Ubaidah bin
Jarrah r.a. pulang dalam keadaan kosong tak mebawa sedinar pun.
Kemudian
tak berapa lama Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. memerintahkan agar uang
yang sekantong lagi berisi 400 dinar agar diberikan kepada Muaz bin Jabal r.a.
Sesaat setelah melihat kantong penuh berisi dinar maka Muaz bin Jabal
memerintahkan kepada pelayannya untuk membawa uang itu keluar rumah dan
dibagibagikan kepada kaum fakir miskin dan orang yang sangat membutuhkan. Semua
mendapat bagian yang adil, sang pelayan hanya menyiskan uang 2 dinar untuk
keperluan makan dan hidup sekedarnya.
Amirul
Mukminin melihat kejadian ini merasa bahwa sungguh beruntung dirinya masih
hidup di tengah-tengah orang yang zuhud dan tidak terlena oleh nikmat dunia.
Khalifah Umar bin Khattab r.a. kemudian bekata, “Sungguh di antara mereka telah
menjadi saudara bagi sebagian yang lain.”
Kisah
di atas gambaran betapa para sahabat telah zuhud, tidak silau oleh gemerlapnya
dunia. Para sahabat rata-rata adalah saudagar yang mampu bahkan kaya. Akan
tetapi mereka tidak terbuai oleh gemerlapnya dunia. Karena mereka taat dan
benar-benar menerapkan apa yang telah diajarkan Rasulullah saw, sebagaimana
sabdanya:
Dari Abu Hurairah,
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى
غِنَى النَّفْسِ
“Kaya
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah
hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Dalam
riwayat Ibnu Hibban, Rasuulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ :
وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ
: إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau
memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,”
jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya
harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa.
Lantas Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah
kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya
hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Muslim)
Inilah
nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini
seorang insan bisa menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia
bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang
puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang
kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati
yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah.
Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.
Ibnu
Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya
bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan
rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa
yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus
menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh.
Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk
terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu camkan baik-baik bawa
hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah ‘kaya hati’ (hati yang selalu ghoni,
selalu merasa cukup). Orang yang ‘kaya hati’ inilah yang selalu merasa
cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang
diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak
begitu tamak untuk menambah harta. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni
(yaitu kaya yang sebenarnya).”
Ibnu
Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati
dengan ‘kaya hati’ adalah orang yang selalu qona’ah (merasa
puas) dengan rizki yang Allah karuniakan. Ia tidak begitu tamak untuk
menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah
letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah
hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian
Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
Sedangkan
orang yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang
pertama tadi. Orang seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa puas)
terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha kerus untuk menambah dan
terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal maupun haram). Jika ia
tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan
orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan
apa yang telah diberi. Orang inilah orang yang tidak kaya pada hakikatnya.
Intinya,
orang yang ‘kaya hati’ berawal dari sikap hati yang selalu ridho
dan menerima segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu bahwa apa yang
Allah karuniakan, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus ada. Sikap lahir
tetap rajin dan berusaha keras, tapi hanya sebatas mengisi hak (bidang) sebagai
manusia yang harus memenuhi kebetuhan hidup. Sikap seperti inilah jauh dari
sifat tamak.
Perkataan yang
amat bagus diungkapkan oleh para ulama:
غِنَى النَّفْس مَا يَكْفِيك مِنْ سَدّ حَاجَة فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ
ذَاكَ الْغِنَى فَقْرًا
“kaya
hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu
dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (‘kaya hati’),
namun malah fakir (miskinnya hati).”( Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani,
11/272, Darul Ma’rifah)
An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah ‘kaya
hati’, hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan
dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus
ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam
rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia
bukanlah orang yang ‘kaya hati’.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al
Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 7/140, Dar Ihya’ At Turots)
Kaya Harta,
Diperbolehkan.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ
اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
“Tidak
apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang
bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.”
(HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Rasulullah
s.a.w bersabda yang maksudnya: “Orang mukmin yang kuat lebih baik di sisi
Allah dan lebih dikasihi daripada orang mukmin yang lemah, sedangkan setiap
seorang itu mempunyai kebaikannya (imannya); karena itu hendaklah engkau
bersungguh-sungguh berusaha memperoleh apa yang memberi manfaat kepadamu, serta
hendaklah meminta pertolongan kepada Allah dan janganlah engkau bersikap segan
dan malas; dan sekiranya engkau ditimpa sesuatu maka janganlah engkau berkata:
“Kalaulah aku lakukan itu ini, tentulah akan terjadi begitu begini, tetapi
katalah: “Allah telah takdirkan, dan apa yang dikehendaki oleh
kebijaksanaan-Nya Ia lakukan, karena perkataan ‘kalau’ itu membuka jalan kepada
hasutan syaitan.” Riwayat Muslim
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ
اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh
sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan
Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR.
Muslim no. 1054)
Dari
Hadits di atas maka dapat diambil pelajaran bahwa:
- Mukmin yang yang kuat (kaya) dan bertakwa lebih baik dan lebih dicintai Allah swt dibandik mukmin yang lembah. Hal ini berkaitan dengan sabda Rasulullah saw, “kefakiran lebih dekat kepada kekafiran”.
- Setiap mukmin itu mempunyai tingkat iman yang berbeda di mana ada yang kuat semangatnya, ilmunya dan kuat pula usahanya untuk mendapatkan kebaikan dalam hidup; manakala setengah yang lain pula adalah sebaliknya.
- Seharusnya kita berusaha bersungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu di samping terus berdo’a memohon pertolongan Allah swt, supaya dengan ihsan-Nya Allah memberikan taufik dan meridhoi segala usaha yang dilakukan. Sehigga tidak akan timbul rasa riya’ atau (ananiyah), dan sombong, merasa punya kemampuan untuk menjadi berhasil atas usaha tersebut, padahal laa haula wa laa quwwata illa billah, tidak ada suatu kemampuan sedikit pun kecuali atas titah Allah swt.
- Demikian juga kita tidak sepatutnya bersikap malas dan malu untuk bekerja serta hanya memasang angan-angan bahawa Allah swt akan menyampaikan hajat kita dengan alasan Allah itu Maha Berkuasa, sedangkan Allah sendiri telah menjelaskan bahawa sesuatu yang boleh diusahakan oleh manusia tidak akan berhasil melainkan setelah diusahakan oleh suatu sebab atau jalan untuk mencapainya.
- Sekiranya sesuatu usaha yang dibuat itu ditakdirkan menemui kegagalan maka kita selaku umat Islam dikehendaki menghadapinya dengan perasaan ridha, tenang tenteram karana hal tersebut pasti mengandungi hikmahnya yang tersendiri yang hanya diketahui oleh Allah swt (billah)
- Apabila sesuatu yang kita rencanakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka kita tidak boleh mengatakan “Kalau aku mengerjakan ini, pasti hasilnya akan begini dan begini”. Karena ucapan yang demikian dapat membuka pintu dari syaithan. Akan tetapi kita diperintahkan untuk mengatakan “Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al”. Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi. Karena belum tentu hal yang kita sukai baik bagi kita (billah)
- Menjadi kaya atau memiliki harta banyak bukanlah tercela, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup (tamak) dan tidak pernah puas dengan apa yang Allah karuniakan.
Do’a
yang sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
antaranya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (اللَّهُمَّ
إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى(
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal
huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu
petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no.
2721).
An
Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan
menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati
yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/41)
Membangun
kekuatan adalah sarana menjadi mukmin yang baik dalam menggapai kedudukan
disisi Allah. Dalam surat Al-Anfal ayat 60 diajurkan untuk memiliki kekuatan,
bukan untuk menindas tetapi untuk menunjukkan Islam lebih exist. Makin kita
kuat, makin kita membuat orang lain terselamatkan dari kejahatan orang lainnya.
Islam mengajarkan kekuatan sebagai bagian dari kebaikan seorang mukmin,
kedekatan dengan Allah, dan juga dapat digunakan menolong orang dari
kemungkaran. Kekuatan fisik, finansial, intelektual mental dan ruhiah dalam
bingkai iman sangat diperlukan bagi kejayaan Islam.
الصلاة والسلام عليك وعلى اليك ياسيدى
يارسول الله
والله أعلام بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar