LARILAH KEMBALI KEPADA ALLAH

Larilah Kembali Kepada Allah photo faringfirrugraveigravelaringllaringh_zpsb9f801c3.gif
Bacalah Selalu Lisan Maupun dalam Hati "YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH"

Rabu, 02 November 2011

RASUULULLAH SAW (ISLAM): PEMBELA KAUM LEMAH


TAFSIR SURAH AL-KAUTSAR
اعوذبالله من الشيطان الرجيم
بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّا أعْطَيْنَكَ الْكَوْثَرَ (١) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢) إنَّ شَانِأَكَ هُوَالْاَبْتَرُ(٣)



Terjemah:
1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus

(Terjemah / Indonesia / DEPAG / Surah Al Kautsar)


Surah ini termasuk surah Makkiyah, terdiri dari tiga ayat, diturunkan setelah surah Al-‘Adiyat. Hubungan surah ini dengan surah sebelumnya (surah Al-Ma‘un), adalah bila Allah menjelaskan dalam surah terdahulu tentang orang yang mendustakan agama dengan empat macam sifat, yaitu al-bukhl (bakhil), tidak mau melakukan salat, riya, dan tidak mau memberikan pertolongan, maka dalam surah Al-Kautsar Allah menyebutkan sifat-sifat yang dikaruniakan kepada Rasulullah SAW. berupa kebaikan dan keberkahan. Disebut-kan bahwa Beliau SAW diberi Al-Kautsar, yang berarti kebaikan yang banyak, dorongan untuk melakukan salat dan membiasakan-nya, ikhlas dalam melakukannya dan bersedekah kepada kaum fuqara.


Asbâb al-nuzûl surah ini ialah sebagai berikut: Orang-orang musyrik Mekkah dan orang-orang munafik Madinah mencela dan mengejek Nabi SAW. dengan beberapa hal. Pertama, orang-orang yang mengikuti Beliau SAW adalah orang-orang dhu‘afa, sementara orang-orang yang tidak mengikutinya adalah para pembesar dan pejabat. Andaikan agama yang dibawakan itu benar, tentu pembela-pembelanya itu ada dari kelompok orang pandai yang memiliki kedudukan di antara rekan-rekannya.

Pernyataan mereka seperti itu bukanlah hal yang baru. Dulu, kaum Nabi Nuh a.s. juga berkata demikian kepada nabi mereka. Dikisahkan dalam Al-Quran sebagai berikut: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) manusia biasa seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.
(QS. Hud, 11:27).
Memang sudah begitu adanya, orang yang paling cepat memenuhi dakwah Rasul adalah para dhu‘afa. Itu disebabkan, di antaranya, karena mereka tidak memiliki harta sehingga tidak perlu takut hartanya akan tersia-siakan di jalan dakwah. Orang-orang dhu‘afa juga tidak memiliki pangkat atau kedudukan yang menyebabkan mereka takut akan kehilangan pangkat atau kedudukannya di hadapan kedudukan yang dikaruniakan oleh Shâhib Al-Da‘wah.
Kebersamaan para dhu‘afa itu memang tidak disenangi oleh para tuan dan pembesar. Sehingga, ketika kelak mereka masuk ke dalam agama Allah, mereka masuk dalam keadaan benci. Karena itu seringkali terjadi perdebatan antara mereka dan para rasul. Mereka berusaha untuk melenyapkan dan mengganggu pengikut-pengikut Rasul. Namun Allah menolong rasul-rasul-Nya, memperkuat dan memperkokoh mereka.
Sikap para pembesar seperti itu terjadi pula pada Rasul SAW. Karenanya, sungguh para pembesar telah menentang Beliau SAW karena kedengkian mereka kepada Rasul dan para pengikutnya yang berkedudukan rendah. Kemudian, ketika mereka melihat putra-putra RasululSAW lah meninggal, mereka pun berkata: “Terputuslah keturunan Muhammad, dan dia menjadi abtar.” Mereka mengira wafatnya putra-putra Rasulullah SAW itu sebagai aib, sehingga mereka mencela Beliau SAW dengan hal itu, dan berusaha memalingkan manusia dari mengikutinya. Apabila mereka melihat syiddah (kesulitan) yang turun kepada orang-orang Mukmin, mereka senang dan menunggu kekuasaan itu bergeser kepada mereka. Mereka berharap kekuasaan itu hilang dari kaum Muslim, sehingga kedudukan mereka yang sempat digoncangkan oleh agama baru itu kembali lagi kepada mereka.
Atas dasar itu, surah Al-Kautsar ini turun untuk menegaskan kepada Rasulullah SAW. bahwa apa yang diharapkan oleh orang-orang kafir itu merupakan harapan yang tidak ada kebenarannya; untuk menggoncangkan jiwa orang-orang yang tidak mau menyerah dalam pendiriannya, yang tidak lembut tiang-tiangnya, orang-orang yang berkepala batu; untuk menolak tipuan orang-orang musyrik dengan sebenar-benarnya; dan untuk mengajarkan kepada mereka bahwa Rasul akan ditolong, sementara pengikut-pengikut-nya akan memperoleh kemenangan.
Tafsir Surah Al-Kautsar

إنَّا أعْطَيْنَكَ الْكَوْثَرَ ، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ، إنَّ شَانِأَكَ هُوَالْاَبْتَرُ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar. Maka salatlah kamu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya pembenci-mu itulah yang akan binasa. (QS Al-Kautsar, 108:1-3).


1. Al-Kautsar. Al-kautsar ialah bekal atau belanja dalam jumlah yang banyak. Al-kautsar artinya yang banyak memberi. Yang dimaksud dengan al-kautsar di sini ialah kenabian, agama yang benar, petunjuk dan apa yang ada di dalamnya tentang kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2. Al-Abtar. Menurut asal katanya, al­-abtar adalah binatang yang terpotong ekornya. Adapun yang dimaksud al-abtar di sini ialah orang yang namanya tidak berlanjut dan jejaknya tidak kekal. Pengumpamaan kekalnya sebutan yang baik dan berlanjutnya jejak yang indah dengan ekor binatang karena ekor binatang itu mengikuti binatangnya dan menjadi perhiasan baginya. Sehingga, orang yang tidak memiliki sebutan yang kekal dan jejak indah yang berlanjut diibaratkan sebagai orang yang ekornya terlepas atau terputus.

Dengan surah ini Allah hendak menegaskan sebagai berikut: Aku telah memberikan kepadamu pemberian yang banyak sekali yang jumlahnya tidak terhitung. Aku telah mengaruniaimu berbagai karunia, yang tidak mungkin sampai pada hakikatnya. Apabila musuh-musuhmu menganggap enteng dan kecil terhadap karunia itu, maka itu disebabkan karena kerusakan pikiran dan lemahnya persepsi mereka. Shalatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah. Jadikanlah shalatmu hanya kepada Tuhan saja, dan sembelihlah sembelihanmu yang merupakan pengorbananmu bagi Allah jua. Sebab, Allahlah yang memeliharamu dan melimpah-kan kepadamu segala nikmat-Nya, bukan yang lain, seperti Aku telah memerintahkan kepada para nabi-Ku:
قُلْ إِنَّالصَّلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن  لَاشَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَا لِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْاَوَّلُ الْمُسْلِمِيْن (الانعام : ١٦٣-١٦٢)
Katakanlah, sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidupku dan matiku untuk Allah yang mengurus alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan. Dan aku menjadi Muslim yang pertama.

Setelah menggembirakan Rasuulullah SAW dengan sebesar-besarnya kabar gembira, dan meminta Beliau SAW untuk bersyukur kepada-Nya atas nikmat dan kesempurnaannya, lalu Allah menegaskan bahwa musuh-musuh Beliau SAW-lah yang justru akan terkalahkan dan terhinakan,
إِنَّ شَانِأَكَ هُوَالْأَبْتَر
”Sesungguhnya pembencimu, baik yang dulu maupun yang sekarang, akan terputus namanya dari kebaikan dunia dan akhirat, sehingga keturunanmu akan kekal dan akan kekal juga nama dan jejak-jejak keutamaanmu sampai hari kiamat.”
Sebenarnya para pembenci itu tidaklah membenci Rasuulullah SAW karena kepribadiannya. Mereka sebetulnya mencintai Beliau SAW lebih dari kecintaan kepada mereka sendiri. Namun, mereka marah kepada apa yang dibawakan oleh Beliau SAW berupa petunjuk dan hikmah yang merendahkan agama mereka, mencela apa yang mereka sembah, dan memanggil mereka kepada sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka lakukan selama ini.

Allah sudah menegaskan dan membuktikan kepada pembenci-pembenci Rasuulullah SAW di kalangan Arab dan ajam pada zaman Beliau SAW, bahwa mereka akan ditimpa kehinaan dan kerugian, dan tidak tersisa dari mereka kecuali nama yang jelek. Allah juga menegaskan dan membuktikan bahwa Nabi SAW dan orang-orang yang mendapat petunjuk-Nya akan mendapatkan kedudukan di atas apa pun, sehingga kalimah mereka menjadi kalimah yang paling tinggi.

Al-Hasan rahimahullah wa ra. berkata: “Orang-orang musyrik disebut abtar karena tujuan mereka terputus sebelum mereka mencapainya. Sejahterakanlah Nabi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah Engkau tinggi-kan namanya; telah Engkau rendahkan para pembencinya, dengan shalawat yang kekal, sekekal zaman.”

Penjelasan di atas saya ambil dari tafsir Ibn Katsir. Di sini juga disebutkan beberapa keterangan tentang al-kautsar, sebagai berikut:
1. Telaga di Surga
2. Kebaikan yang baik;
3. Putra-putra Rasulullah
4. Sahabat-sahabat dan pengikutpengikut Rasul SAW. hingga hari
kiamat;
5. Ulama di kalangan umat Muhammad SAW;
6. Al-Quran dengan segala keutamaannya yang banyak;
7. Nubuwwah;
8. Dimudahkannya Al-Quran;
9. Islam;
10. Tauhid;
11. Ilmu;
12. Hikmah; dan sebagainya.

Di sini bahkan sampai diriwayatkan ada dua puluh enam mazhab tentang apa yang dimaksud dengan al-kautsar. Tapi kita akan mengambil tharîqah al-jam‘i (teori penggabungan), artinya seluruhnya benar. Kita mengambil yang umum, al-kautsar adalah kenikmatan yang banyak, yang dikaruniakan kepada Muhammad SAW. dan umatnya. Dan kenikmatan itu bisa berupa Al-Quran, atau petunjuk Allah, atau bertambah-nya pengikut Beliau SAW sampai akhir zaman hingga tidak terputus setelah Beliau SAW meninggal dunia, atau bisa juga telaga di surga.

Memang diriwayatkan dalam Shahîh Al-Bukhâri, bahwa nanti di surga penghuninya akan diberi minum dari telaga yang bernama Al-Kautsar. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa pada suatu saat sekian banyak orang akan digiring ke telaga Al-Kautsar. Yang diberi minum dari telaga hanyalah umat Rasulullah SAW. Tetapi ketika sudah mendekat ke telaga Al-Kautsar, mereka diusir oleh para malaikat. Lalu Rasulullah SAW berteriak, “Sahabatku, sahabatku.” Kemudian Allah berfirman, “Tidak. Mereka bukan sahabatmu. Engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.” Rasulullah SAW pun berkata, “Celakalah orang yang mengganti ajaran-ajaran agamaku setelah aku meninggal.”

Selanjutnya, kata
نَحَرْ nahr, juga memiliki beberapa makna. Dalam bahasa Arab, salah satu arti kata nahr adalah ’berkurban’. Arti yang lain adalah bagian dada sebelah atas. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nahr ialah mengangkat tangan lurus dengan bahu sebelah atas. Sehingga, kata mereka, maknanya adalah, “Shalatlah kepada Tuhanmu, ucapkan kebesaran nama Tuhanmu sambil meng-angkat tangan selurus bahu.” Begitu kata mereka. Pendapat ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hatim, Al-Hakim, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi. Dalam Sunannya, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Ketika surah ini diturunkan kepada Nabi SAW., Beliau SAW bertanya kepada Jibril: ‘Apa yang dimaksud dengan nahr yang diperintahkan oleh Allah di sini?’ Jibril berkata: ‘Yang dimaksud di sini bukan berkurban. Maksud kata ini adalah memerintahkanmu untuk mengangkat tangan saat menghormat dalam shalat, saat takbir, ruku, dan mengangkat kepala dari ruku. Sebab, itulah shalat kami dan salat malaikat yang berada di langit yang tujuh. Segala sesuatu itu memiliki perhiasan-nya. Dan perhiasan shalat adalah mengangkat tangan pada setiap takbir.’”

Adapun mengenai اَلْاَبْتَرُ al-abtar,  Al- Maraghi menyebutkan ada beberapa hal, yaitu:
1.      Dulu, pengikut-pengikut Rasul SAW. yang pertama adalah kelompok dhu‘afa, fuqara dan orang miskin. Kebanyakan mereka bodoh-bodoh sehingga diejek dengan sebutan sufahâ’, orang-orang bodoh, walaupun kemudian Allah menegaskan, alâ innahum hum al-sufahâ’, mereka (para pembesar) itulah yang bodoh. Mereka (para pembesar) itu meng-anggap bahwa kalau agama yang dibawa oleh Muhammad itu benar, tentu pengikutnya adalah orang-orang pandai, orang-orang besar, dan orang-orang yang mengerti. Tetapi, mengapa para pengikutnya justru orang-orang bodoh? Karena itulah mereka menganggap bahwa agama itu akan cepat abtar, akan cepat lenyap, cepat terputus.
2.        Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. mempunyai beberapa orang putra. Putra tertua bernama Al-Qasim. Kemudian Zainab, Abdullah, Ummu Kultsum, Ruqayyah, dan Fathimah. Al-Qasim meninggal. Setelah ia meninggal, Abdullah pun meninggal. Maka, berkatalah Al-‘Ashi bin Wail Al-Sahmi, salah seorang pembesar Quraisy: “Sudah terputus keturunan Muhammad; ia menjadi abtar, orang yang terputus keturunannya.” Sebab itulah Allah menurunkan ayat, Inna syâni’aka huwa al-abtar (Sesunguhnya pembencimulah yang akan binasa). Itulah pula sebabnya sebagian ulama men-jelaskan bahwa yang dimaksud al­-kautsar dalam surah ini adalah keturunan Rasulullah SAW., yakni janji Allah bahwa keturunan Muhammad tidak akan terputus, melainkan beranak pinak dalam jumlah yang banyak. Dahulu, orang Arab menyebut seorang anak dengan nama bapaknya. Jadi, jika seseorang tidak mem-punyai anak, maka namanya tidak akan disebut-sebut orang. Dan ternyata, nama Rasulullah terus berlanjut dengan kenangan yang baik, hingga sekarang.
3.        Merupakan sunnah para nabi bahwa para pengikutnya pada umumnya berasal dari kelompok dhu‘afa, dan bahwa para nabi dan pengikutnya selalu memilih bergaul dengan kelompok dhu‘afa. Di India, saya mendengar bahwa Islam berkembang pesat karena para ulamanya mendekati kelompok orang yang tidak memiliki kasta. Orang-orang yang terlempar dari sistem kasta itu kemudian masuk ke dalam Islam dengan berbondong-bondong, hingga orang-orang. Islam memiliki daya tarik yang besar bagi kelompok dhu‘afa, orang-orang lemah. Saya perlu menegaskan ini berkali-kali. Karena, selama ini orientasi dakwah kita hanya tertuju kepada kelompok elit saja, atau kelompok menengah yang sekarang bangkit. Sementara orang-orang miskin, dhu‘afa didekati oleh orang-orang non muslim.

Dalam Al-Qur’an, yang dimaksud dhu‘afa bukan saja lemah dalam arti materi, tapi juga ilmu. Tapi, titik beratnya adalah dhu‘afa dari segi materi. Orang yang lemah dari sisi kekayaan, biasanya lemah juga dari sisi ilmu pengetahuan, kehidupan politik, dan kehidupan sosial. Dhu‘afa adalah kelompok lemah, orang-orang kecil. Al-Quran memiliki istilah lain, mustadh‘afîn, yakni orang-orang yang ditindas, dilemahkan.
Kelahiran memang tidak bisa kita pilih. Tidak mungkin kita menggugat mengapa kita lahir sekarang, di zaman yang kata banyak orang sarat kejahatan, penyelewengan, korupsi, manipulasi, retorika-dusta, dan sejumlah kemuakan manusiawi yang lain. Tidak mungkin kita menuntut untuk dilahirkan pada zaman kemakmuran, keemasan, keadilan, serba mudah, atau zaman dan tempat ketika hak-hak asasi dan kehormatan diri begitu dijunjung tinggi, atau lahir di Negara Ideal --seperti kata Plato-- atau Madinah Fadhi-lah --Kota Utama, seperti kata Al-Farabi. Kelahiran jelas tidak bisa ditawar-tawar, seindah dan seburuk apa pun kelahiran itu. Ia adalah anugerah yang harus dijalani, suka atau tidak.

Dalam hidup intinya hanya dua: kebaikan dan kejahatan. Kedua pilihan itu telah ditiupkan secara inspiratif (ilham) dalam setiap jiwa manusia. Secara fitrah, setiap orang mampu membedakan kebaikan dari kejahatan, setidaknya secara universal. Secara naluriah-psikologis, setiap orang membenarkan bahwa menghormati hak asasi adalah kebaikan, sementara meleceh-kannya berarti kejahatan; bahwa berbuat adil adalah kebaikan, sementara bertindak tiran dan zalim adalah keburukan. Potensi ini telah “diwahyukan” langsung oleh Sang Pencipta. Ini misalnya ditegaskan dalam beberapa ayat berikut:
Kami telah menunjukkan kepada manusia dua jalan” (QS Al-Balad:10); “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS Al-Syams:8); “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan (yang lurus): ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (QS Al-Insaan:3).

Karena itu, setiap orang pada dasarnya memiliki potensi atau bakat yang sama untuk berbuat baik dan buruk. Omong kosong kalau ada orang yang menyatakan bahwa seorang penjahat tidak berpotensi menjadi baik. Juga dusta bila ada yang mengatakan bahwa seorang alim tidak mempunyai bakat jadi orang jahat. Secara filosofis, setiap orang berpotensi atau berbakat untuk menjadi satu di antara dua: baik, atau jahat. Orang sejahat Yazid bin Muawiyah, Hitler, Pol Pot, misalnya, sebenarnya mempunyai bakat untuk menjadi orang baik. Sebagaimana orang sesuci Nabi Muhammad SAW dan Isa bin Maryam As pada dasarnya juga berpotensi untuk berbuat buruk. Tapi mengapa Yazid, Hitler dan Pol Pot tidak menjadi baik, sementara Muhammad SAW dan Isa As tidak menjadi jahat?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, para filosof menyodorkan dua key words: potensi dan aksi (tradisi filsafat Islam menyebut yang pertama dengan quwwah dan yang kedua dengan fi‘l). Menurut mereka, setiap potensi tidak selamanya menjadi aksi (tindakan), tapi setiap aksi selalu bermula dari potensi. Setiap orang berpotensi, misalnya, untuk membuang sampah sembarangan. Tapi orang yang sangat peduli terhadap kebersihan tidak akan melakukannya. Setiap orang berpotensi untuk membunuh. Tapi seorang bermoral dan berperikemanusiaan tidak mungkin mewujudkan potensi itu menjadi aksi. Setiap orang berpotensi untuk berdusta, atau merekayasa kesaksian palsu. Tapi orang yang memegang teguh nilai-nilai kejujuran tidak mungkin melakukannya. Mengapa? Jawabannya bisa alasan kesehatan, etika, moral, agama, prinsip-prinsip kebenaran, atau yang lainnya. Mengapa Rasuulullah SAW tidak berbuat jahat padahal Beliau SAW berpotensi untuk itu? Sebab, kalau Beliau SAW jahat, maka Beliau SAW bukan rasul lagi. Kecintaan dan tanggung jawabnya kepada Tuhan dan makhluk-Nya memustahilkan dirinya memanifestasikan potensi buruknya menjadi aksi. Konsistensi Beliau SAW terhadap segala kebaikan akhirnya menutup rapat potensi buruk itu untuk mengejawantah. Lantas mengapa Hitler tidak menjadi baik padahal ia juga berpotensi untuk itu? Karena, kekotoran hati dan jiwanya telah begitu pekat sehingga menutupi potensi baik itu, yang akibatnya potensi jahatlah yang menguasai dirinya untuk mewujudkan aksi-aksi jahat. Keseringannya melakukan aksi keburukan menyebabkan potensi baiknya tersumbat untuk menjadi aksi.

Mengenai potensi baik dan jahat ini sebetulnya bisa juga dipahami lewat teori cermin Imam Al-Ghazali. Orang yang senantiasa membersihkan jiwanya, jiwanya itu laksana cermin yang bersih. Bila penampakan realitas dianggap sebagai sebuah kebaikan, maka dalam jiwa yang bagaikan cermin itu akan nampak seluruh realitas yang ada di hadapannya. Sementara orang yang selalu mengotori jiwanya hingga pekat, maka jiwanya sama sekali tidak bisa memantulkan realitas di hadapannya, sedekat dan sejelas apa pun realitas itu. Potensi baiknya sudah begitu dalam terpendam rapat karena ditindih oleh gumpalan kejahatannya.

Selanjutnya, dalam sphere filosofis, pernyataan bahwa setiap manusia berpotensi atau berbakat menjadi orang baik atau jahat, mungkin kedengarannya “datar-datar” saja. Tapi dalam wilayah atau situasi psiko-kultural tertentu, barangkali kedengarannya sangat janggal, bahkan bisa menyesatkan perjalanan eksistensial seseorang. Misalnya disebutkan dalam rubrik psikologi bahwa setiap laki-laki berbakat jadi homoseksual atau biseksual; setiap perempuan berbakat menjadi lesbi; setiap suami --seperti kata dr. Boyke-- atau istri berbakat menyeleweng; setiap orang berbakat menjadi pembohong; setiap penguasa berbakat menjadi tiran; setiap pengusaha berbakat menjadi penyuap; setiap bawahan berpotensi menjadi penjilat; dan seterusnya. Menurut penulis, dalam konteks tertentu, baik individual maupun kultural, doktrin-doktrin semacam ini bisa sangat “berbahaya”. Sebab, ini bisa dianggap sejenis legitimasi bagi orang-orang tertentu untuk bertindak menyimpang atau jahat. Kelak mereka mengira bahwa deviasi dan penyelewengan adalah naluri fitrah yang harus disalurkan. Bisa jadi nanti ada seorang suami atau istri yang membenarkan perselingkuhannya dengan alasan bahwa itu memang bakat alami; atau boleh jadi pula kelak ada seseorang yang membenarkan kesukaannya gonta-gonti pacar atau pasangan dengan alasan bahwa itu adalah potensi atau bakat fitrah manusiawi. Mereka tidak paham bahwa itu sebenarnya berada dalam konteks filosofis, tepatnya konteks potensi belaka: potensi yang tidak wajib jadi aksi. Jadi, kita memang harus arif, juga hati-hati.

Adakalanya memang benar apa yang dikatakan oleh seorang ustadz: memaksa orang ke surga lebih baik dari-pada membebaskannya ke neraka. Tapi dalam konteks eksitensial, itu hanya berlaku pada orang-orang tertentu yang belum mampu memfungsikan kesadarannya, semisal anak-anak atau orang-orang yang cara berpikirnya masih seperti anak-anak. Sedangkan orang selain mereka tidak lagi patut dipaksa, meski pemaksaan itu demi sebuah surga yang damai, sentosa, dan menyelamatkan.

Kebebasan memilih dan menentukan apa yang ingin diperbuat, baik atas dasar nilai pragmatisme, hedonisme, utilitarinisme, moralisme, atau semacamnya, harus tetap dipelihara. Sebab demikianlah memang Tuhan menganugerahkan sebagian otoritas-Nya kepada manusia.

Sebagai penutup, mari kita bacakan shalawat atas Nabi Muhammad SAW, Manusia Suci, Penyaksi kelak di Yaumil Mizan dan Pemberi Syaf’atul ’udhma, teriring sebuah do’a: agar kita selalu bisa menjaga dan melaksanakan risalahnya.

يا شفع الخلق الصلاة والسلام عليك نورالخلق هادي الانام
واصله وروحه ادركني فقد ظلمت ابدا وربني
وليس لى ياسيدى سوا كا فإتردكنت شخصاهالكا
ياسيّدى يارسول الله ، ياسيّدى يارسول الله ، ياسيّدى يارسول الله

والله أعلام بالصواب


*)sumber:

- http://rasniardhi.blogspot.com

- http://c.1asphost.com/sibin/Alquran_Tafsir.asp?SurahKe=108 (Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Kautsar 1 )

- http://almanhaj.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar