LARILAH KEMBALI KEPADA ALLAH

Larilah Kembali Kepada Allah photo faringfirrugraveigravelaringllaringh_zpsb9f801c3.gif
Bacalah Selalu Lisan Maupun dalam Hati "YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH"

Sabtu, 21 Mei 2011

AL-QAWAID AL-FIQHIYYAH (Bag 1)

1. Ta’rif Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah (القواعد الفقهية)
a. Menurut Bahasa
Kata-kata "Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah" adalah merupakan rangkaian dari dua lafadz, yaitu lafadz Al-Qawa’id dan Al-Fiqhiyyah. Hubungan dari kedua lafadz ini, dalam nahwu disebut hubungan shiffah dengan maushuf, atau na’at dan man’ut.
Lafadz Qawa’id adalah bentuk jama’ dari lafadz qa’idah قاعدة yang menurut bahasa berarti dasar, pondasi atau asas. Seperti terdapat dalam firman Allah surat Al-Baqarah: 127

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Lafadz fiqhiyyah adalah berasal dari lafadz fiqhu yang artinya al-fahmu (paham/mengerti) yang dirangkai dengan ya' nisbah.


b. Menurut Istilah
Musthafa Ahmad Az-Zarqa menta’rifkan, qaidah fiqhiyyah adalah:

أُصُوْلٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فِى نُصُوْصٍ مُوْجِزَةٍ دُسْتُوْرِيَّةٍ تَتَضَمَّنُ أَحْكَامًا تَشْرِيْعِيَّةً عَامَّةً فَى اْلحَوَادِثِ عَامَّةً فِى اْلحَوَادِثِ اَّلتِى تَدْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَا.
“Pokok-pokok fiqih yang bersifat kulli dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas, yang mencakup hukum-hukum yang disyari’atkan secara umum pada kejadian-kejadian yang termasuk di bawah naungannya”.

Professor T.M Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa:
“Dikehendaki dengan qa’idah Fiqih ialah Qa’idah-Qaidah hukum yang bersifat kulliyah (menyeluruh .pen-) yang dipetik dari dalil-dalil kulli dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf (yang dibebani; manusia & jin .pen-) di bawah beban taklif dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya”.

2. Perbedaan Antara Qawa’id Fiqhiyyah Dengan Ushul Fiqh
Muhammad Abu Zahrah menerangkan, “Perbedaan antara Qawa’id Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqih ialah, bahwa ushul fiqih adalah qaidah atau methode (cara) yang dipergunakan oleh ahli fiqih di dalam menggali hukum syara’, agar tidak terjadi kesalahan. Sedangkan Qawa’id fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang serupa (sejenis) lantaran ada titik persamaan, atau adanya ketetapan fiqih yang merangkaikan kaidah tersebut.
Jadi Qawa’id fiqhiyyah adalah kaidah atau teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid.

3. Kepentingan Qawa’id Fiqhiyyah
Fiqih adalah merupakan kumpulan dari berbagai macam aturan hidup, dimana ia memberikan ketentuan-ketentuan hukum terhadap semua keadaan, yang mencakup hubungan hamba dengan Khaliqnya dan hubungan hamba dengan hamba, baik dalam urusan pribadi perseorangan atau dalam hubungannya sebagai bangsa atau hubungan antar negara, yang lazim disebut dengan hubungan internasional.
Dengan sangat luasnya gelanggang pembahasan fiqih Islam ini, maka bukanlah hal yang mudah dan sepele bagi para mujtahid untuk memberikan hukum setiap masalah furu’ iyyah yang sangat banyak jumlah.
Untuk ini datanglah qa’idah-qa’idah fiqhiyyah, yang mengklasifikasikan masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok, yang tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.
Dengan berpegang kepada qa’idah-qa’idah tersebut, para mujtahid akan merasa lebih mudah dalam mengistimbat hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan kepada masalah yang serupa di bawah suatu qa’idah.


QAIDAH PERTAMA

اَلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
(Setiap Perkara Tergantung Kepada Maksud Mengerjakannya)
Redaksi kata-kata dalam qaidah ini, memberi pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang berujud perkataan maupun berujud perbuatan diukur menurut niat sipembuat.

Pengertian Niat:
Menurut Ibnu Qudamah niat adalah:

تَوَجُّهُ اْلقَلْبِ جِهَةَ اْلفِعْلِ اِبْتِغَاءَ وَجْهِ الله تَعَالَى وَامْتِثَالاً لِأَمْرِهِ
Menghadapnya hati ke arah pekerjaan, karena mengharap rido Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya.

Ibnu Qayyim mengatakan:

اَلنِّيَّةُ هِيَ اْلقَصْدُ وَ اْلعَزْمُ عَلَى فِعْلِ الشَّيْئِ وَ مَحَلُّهَا اْلقَلْبُ لاَ تَعَلُّقَ لَهَا بِاللِّسَانِ أَصْلاً
Niat itu maksud dan tekad untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya adalah hati, dan secara asal tidak berkaitan dengan lisan.

Dari kedua ta’rif di atas, jelaslah bahwa niat itu ada dua:
1. Niat Amal, yaitu maksud dan tekad untuk mengerjakan sesuatu. Jika seseorang mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan sengaja, baik perkara ibadah atau pun yang lainnya, maka dinamakan orang tersebut berniat. Seseorang yang sedang tidur, kalau menampar atau menendang sesuatu maka dikatakan dia tidak berniat. Kalau seseorang memecahkan sesuatu atau menikam seseorang lantaran latah, maka orang itu tidak sengaja atau tidak berniat.
2. Niat Ma’mul Lahu, yaitu maksud suatu pekerjaan yang ditujukan pada sesuatu atau seseorang. Seperti shaum karena mengharap rido Allah. Salat karena ingin dilihat seseorang. Shadaqah karena ingin dipuji seseorang dan yang lainnya.

Landasan Qaidah:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ(20)
Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (As-Syuura: 20)

عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه. (البخاري)
Sesungguhnya setiap amal-amal itu tergantung kepada amalnya dan hanyasanya bagi setiap orang itu tergantung apa yang diniatkannya, maka barang siapa yang niat hijrahnya karena dunia yang hendak diperolehnya atau karena perempuan yang hendak dinikahinya maka pahala hijrahnya tergantung apa yang diniatkannya. (HR Al-Bukhari)

لاَ عَمَلَ لِمَنْ لاَ نِيَّةَ لَهُ وَلاَ أَجْرَ لِمَنْ لاَ حَسْبَةَ لَهُ. (رواه البيهقى فى سننه الكبر عن أنس بن مالك)
Tidak sah amal yang tidak memakai niat dan tidak ada ganjaran bagi orang yang tidak ihtisab (mengharapkan ganjaran dari Allah swt). (HR Al-Baihaqi dalam Sunannya dari Anas bin Malik)

عَنِ النَّوَاسِ بْنِ سَمْعاَنَ اَلْكَلاَّبِي قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم نِيَّةُ اْلمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ. (أخرجه القضاعي في مسند الشهاب)
Dari Nawas bin Sam’an Al-Kalabiy, berkata: Rasulullah saw bersabda: Niat seorang mukmin itu lebih baik dari pada amalnya. (HR Al-Qodlo’I dalam Musnad As-Syihab)

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ. (رواه البخاري)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqas, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: sesunggunya tidaklah kamu mendermakan sesuatu dengan mengharapkan keridoan Allah kecuali akan diganjar termasuk kamu memberikan makanan kepada istrimu. (HR Al-Bukhariy)

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: رُبَّ قَتِيلٍ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِنِيَّتِهِ. (رواه أحمد فى مسنده عن ابن مسعود)
Rasulullah saw bersabda: Banyak sekali orang-orang yang terbunuh di antara dua saf ini dan hanyalah Allah yang mengetahui niatnya. (HR Ahmad dalam Musnad nya dari Ibnu Abbas)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيُدْخِلُ بِالسَّهْمِ الْوَاحِدِ ثَلَاثَةً الْجَنَّةَ صَانِعَهُ يَحْتَسِبُ فِي صَنْعَتِهِ الْخَيْرَ وَالرَّامِيَ بِهِ وَالْمُمِدَّ بِهِ . (رواه الأربعة)
Dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Husain sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah akan memasukan tiga golongan ke dalam surga disebabkan satu anak panah; Pembuatnya yang mengharapkan ganjaran dalam membuatnya, yang memanahkannya, dan yang mengasongkannya. (HR Al-Arba’ah)

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ . (رواه النسائى)
Dari Abu Darda dari Nabi saw bersabda: Barang siapa yang mendatangi tempat tidurnya dan berniat bangun untuk melaksanakan salat malam lalu ia tertidur hingga waktu subuh, maka niatnya itu akan dicatat (sebagai satu kebaikan) dan tidurnya itu merupakan sadaqah dari Allah Azza wa Jalla. (HR An-Nasai)

أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَنَوَى أَنْ لَا يُعْطِيَهَا مِنْ صَدَاقِهَا شَيْئًا مَاتَ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ زَانٍ , وَأَيُّمَا رَجُلٍ اشْتَرَى مِنْ رَجُلٍ بَيْعًا فَنَوَى أَنْ لَا يُعْطِيَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا مَاتَ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ خَائِنٌ. (رواه الطبرانى من حديث صهيب)

Siapa saja yang menikahi seorang perempuan lalu berniat untuk tidak memberikan maskawinnya, maka dia mati sebagai seorang pezina. Dan siapa saja yang membeli sesuatu dari seseorang dan berniat untuk tidak memberikan harganya, maka dia mati sebagai seorang penghianat. (HR At-Thabrani dari Suhaib)

مَنْ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يُؤَدِّيَهُ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ , وَمَنْ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لَا يُؤَدِّيَهُ فَمَاتَ قَالَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : ظَنَنْتَ أَنِّي لَا آخُذُ لِعَبْدِي بِحَقِّهِ ؟ فَيُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَتُجْعَلُ فِي حَسَنَاتِ الْآخَرِ , فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ الْآخَرِ , فَجُعِلَتْ عَلَيْهِ. (رواه الطبرانى مِنْ حَدِيث أَبِي أُمَامَةَ)

Barang siapa yang mempunyai utang dan berniat untuk membayarnya, maka Allah akan membayarkan untuknya pada hari kiamat. Dan barang siapa mempunyai utang dan berniat untuk tidak membayarnya lalu mati, Maka pada hari kiamat Allah akan berfirman kepadanya,”Kau mengira bahwa Aku tidak akan mengambil hak hambaku (yang ada padamu)? Lalu kebaikan-kebaikannya diambil dan diberikan kepada yang lain, dan jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka kejelekan-kejelekan yang lain diambil dan diberikan kepadanya. (HR At-Thabrani dari Umamah)

Contoh-contoh:
  • Makan, minum atau tidur jika maksudnya untuk melaksanakan ibadah, maka diganjar
  • Memeras anggur jika niatnya membuat khomr, maka haram tetapi jika untuk membuat cuka, maka halal
  • Mengambil harta orang yang mempunyai utang. Jika niatnya mencuri, maka haram. Tetapi jika niatnya melunasi utangnya, maka halal.
  • Bercampur dengan istri tetapi niatnya dengan orang lain, maka hukumnya berzina.

Qaidah-Qaidah Lain Yang Meruju’ Kepadanya,

مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعْيِيْنُ فَاْلخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ

Suatu ibadah yang disyaratkan padanya menentukan niyyat dan ternyata salah, maka ibadah tersebut batal.
* Para ulama berpendapat bahwa disyaratkan menentukan niyat pada ibadah yang sama pelaksanaannya dengan adat (kebiasaan) atau dengan ibadah lain yang hukumnya sunnat atau fardu.
Contoh-contoh:
  • Salah dalam menentukan niat ketika salat dzuhur, yang seharusnya niat shalat dzuhur tetapi malah niat shalat ashar, maka salatna tidak sah.
  • Salah dalam menentukan niat ketika kifarat dzihar, malah berniat kifarat pembunuhan, maka kifaratnya tidak sah
  • Salah dalam menentukan niat ketika salat ‘iedul fitri, malah berniat salat ‘iedul adha, maka salatnya tidak sah.

مَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ لاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ

Suatu ibadah yang disyaratkan menghadirkan niyat secara garis besar dan tidak disyaratkan menentukannya secara terperinci, jika ditentukan dan salah, maka ibadah tersebut rusak.
Contoh-contoh:
  • Seseorang berniat shalat berjamaah bermakmum kepada Zaid, tapi ternyata imamnya Umar, maka tidak sah bermakmumnya karena dia tidak berniat bermakmum kepada Umar.
* di dalam salat berjama’ah tidak disyaratkan menentukan imam tetapi yang disyaratkan hanyalah niat berjama’ah saja.

  • Dalam salat mayit, seseorang berniat menyalatkan Amir, Tapi ternyata Kholid atau misalnya niat menyalatkan mayit perempuan tapi ternyata laki-laki, maka dalam kedua masalah ini salatnya tidak sah.
* di dalam salat mayit tidak disyaratkan menentukan mayit, tetapi cukup niat salat mayit saja.

  • Seseorang menyalatkan mayit, lalu berniat menyalatkan 10 orang mayit, tetapi ternyata mayitnya lebih dari 10, maka salatnya tidak sah.
* dalam salat mayit tidak disyaratkan menentukan jumlah mayit.

مَا لاَ يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ لاَ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ

Suatu ibadah yang tidak disyaratkan menghadirkan niyat secara garis besar dan terperinci, jika ditentukan dan salah, maka ibadah tersebut tidak rusak.
Contoh-contoh:
  • Salah ketika menentukan tempat salat, seseorang niat salat di Jakarta padahal sebenarnya salat di lembang, maka salatnya sah, karena niatnya ada sedangkan menentukan tempat tidak ada kaitan dengan niat salat baik secara garis besar maupun secara terperinci.
  • Salah ketika menentukan waktu, jika seseorang niat salat ashar pada hari kamis tetapi ternyata hari jum’at maka salatnya sah.

مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَّةِ اللاَّفِظِ

Maksud suatu ucapan tergantung niat orang yang mengucapkannya
Contoh-contoh:
  • Seseorang punya istri namanya talaq, pada suatu waktu dia memanggil “Ya Talaq” jika maksudnya itu mentalaq maka terjadilah talaq.
  • Ketika salat seseorang membaca “Amin”, jika maksudnya memanggil orang yang bernama Amin, maka salatnya batal.

اَلنِّيَّةُ فِى اْليَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ اْلعَامَ وَ لاَ تُعَمِّمُ اْلخَاصَّ

Niat dalam sumpah itu dapat menghususkan lafad yang umum dan tidak dapat mengumumkan

اَلنِّيَّةُ اْلحَسَنَةُ لاَ تُبَرِّرُ اْلحَرَامَ

Niat yang baik tidak dapat menjadikan baik yang haram
Contoh-contoh:
  • Mencuri dengan niat untuk bersedekah, maka mencuri itu tetap haram.
  • Berzinah dengan niat untuk menghidupi anak.

*) Disarikan dari kitab al-Qawaid al-Fiqhiyyah, karya: al-Qadhi Abu Abdillah al-Maqarri Rahimakumullah
**)Sumber:http://catatan-muslim84.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar