بسمِ الله الرحمن الرحيم
الصلاة والسلام عليك
وعلى اليك ياسيدى يارسول الله
Berqurban merupakan
bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika
putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima
qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk, yakni qurban yang diiringi dengan, riya', ujub, takbur, dan sifat-sifat yang tidak disukai Allah SWT lainnya.
Allah SWT berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ
بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ
يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ
اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya,
ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari
mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata
(Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
Qurban lain
yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah qurban keluarga Ibrahim AS, saat beliau
diperintahkan Allah SWT untuk mengurbankan anaknya, Ismail AS. Disebutkan dalam
surat As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Kemudian qurban
ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Syariah Islam, syiar dan
ibadah kepada Allah SWT sebagai rasa syukur atas nikmat kehidupan.
Disyariatkannya
Qurban
Disyariatkannya
qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah SWT, bentuk ketaatan
kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan Allah SWT
kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan dengan berqurban
yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, bahwa
penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana memperluas hubungan baik
terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan
fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT kepada manusia, dan
inilah bentuk pengungkapan nikmat yang dianjurkan dalam Islam:
“Dan terhadap
nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS Ad-Dhuhaa 11).
Kedua, sebagai
bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah SWT. Allah menciptakan
binatang ternak itu adalah nikmat yang diperuntukkan bagi manusia,
dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih binatang
ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini
merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.
Berqurban
merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT di hari Nahr, sebagaimana
disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah RA. bahwa Nabi SAW
bersabda:
“Tidaklah anak
Adam beramal di hari Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah
(berqurban). Qurban itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan
kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah
tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Definisi Qurban
Kata qurban
yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri, sedangkan
maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan diri
kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah fiqih sebagai udhiyah.
Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih
waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari ‘Idul Adha.
Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari
Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan
syarat-syarat tertentu (Syarh Minhaj).
Hukum Qurban
Dalam
hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:Pertama adalah wajib, bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban
hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu)
yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok
ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali
dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al
Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap
umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas
rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul
an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan
jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih
mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia
lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor
kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…”
(Syarhul Mumti’, III/409)
Seekor Kambing
Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing
cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota
keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.
Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu
yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan
keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul
Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena
itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota
keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak
si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya.
Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih
beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang
tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan
Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh
Ali bin Hasan Al
Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu
berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang
dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang,
dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing
hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal
tujuh orang dst.
Namun
seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya
untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status
qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah
harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah
tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk
Sapi & Onta
Seekor Sapi
dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah
bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari
raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor
onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih
Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah
pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya
urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota
keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban
Kambing?
Mengadakan
arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban.
Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk
berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana
dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat
Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau
menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam
rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At
Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk
membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta
qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh
kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).”
(lih. Tafsir Ibn Katsir, surat
Al Hajj: 36).
Sebagian ulama
lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di
antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah
pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 &
28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka
selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul
Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak
jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit
hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara
berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang,
lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat
dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan
ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh
perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang
menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang
keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya
masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan
hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi
hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan
qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang
yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu
a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’
menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi
sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa
ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan
Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al
‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka
menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al
Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan
sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba.
Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci
penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143.
Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau
menjawab:
“Jika hakekat
kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis
hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang
arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan
Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa
disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan
sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban
Satu Sekolahan
Terdapat satu
tradisi di lembaga
pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan
menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani
iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan
disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah
qurban?
Pendapat
Pertama: bahwa qurban
adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana
yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai
sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut
adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk
seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus
tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Pendapat Kedua: berkata Ibnul Qoyyim dalam kitabnya
‘Ilamul Muaqi’in setelah mengemukakan hadits tersebut: “Mereka diposisikan
sebagai satu keluarga dalam bolehnya menyembelih satu kambing bagi mereka.
Karena mereka adalah sahabat akrab. Oleh karena itu sebagai sebuah
pembelajaran dapat saja beberapa orang membeli seekor kambing kemudian
disembelih. Sebagaimana anak-anak sekolah dengan dikoordinir oleh
sekolahnya membeli hewan qurban kambing atau sapi kemudian diqurbankan.
Dalam hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Abbas, datang pada
Rasulullah SAW seorang lelaki dan berkata:
“Saya berkewajiban qurban unta, sedang saya
dalam keadaan sulit dan tidak mampu membelinya”. Maka Rasulullah SAW
memerintahkan untuk membeli tujuh ekor kambing kemudian disembelih”.
Disebutkan dalam hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari:
“Seseorang di masa Rasulullah SAW berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Mereka semua makan, sehingga manusia membanggakannya dan melakukan apa yang ia lakukan” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).
Berkata Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad:
“Di antara sunnah Rasulullah SAW bahwa qurban kambing boleh untuk seorang dan keluarganya walaupun jumlah mereka banyak sebagaimana hadits Atha bin Yasar dari Abu Ayyub Al-Anshari. Disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW.
عن أبي الأسود السلمي، عن أبيه، عن جده قال: كنت سابع سبعة مع
رسول الله -صلَّى الله عليه وسلَّم-
في سفره، فأدركنا الأضحى. فأمرنا رسول الله -صلَّى الله عليه وسلم-، فجمع كل رجل منا درهما، فاشترينا أضحية بسبعة دراهم.
وقلنا: يا رسول الله، لقد
غلينا بها. فقال: (إن أفضل الضحايا أغلاها، وأسمنها) قال: ثم أمرنا رسول الله -صلَّى الله عليه وسلم-،
فأخذ رجل برِجل، ورجل برِجل، ورجل بيد، ورجل بيد، ورجل بقرن، ورجل بقرن، وذبح السابع،
وكبروا عليها جميعا.
Dari Abul Aswad As-Sulami dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: Saat itu kami bertujuh bersama Rasulullah saw, dalam suatu safar, dan kami mendapati hari Raya ‘Idul Adha. Maka Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengumpulkan uang setiap orang satu dirham. Kemudian kami membeli kambing seharga 7 dirham. Kami berkata:” Wahai Rasulullah SAW harganya mahal bagi kami”. Rasulullah SAW bersabda:” Sesungguhnya yang paling utama dari qurban adalah yang paling mahal dan paling gemuk”. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan pada kami. Masing-masing orang memegang 4 kaki dan dua tanduk sedang yang ketujuh menyembelihnya, kemudian kami semuanya bertakbir” (HR Ahmad dan Al-Hakim).
Berqurban Atas
Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk
orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
- Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
- Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan
Qurban
Untuk onta dan
sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu
menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.”
(Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah
hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.
|
Hewan
|
Umur minimal
|
1.
|
Onta
|
5 tahun
|
2.
|
Sapi
|
2 tahun
|
3.
|
Kambing jawa
|
1 tahun
|
4.
|
Domba/
kambing gembel
|
6 bulan
(domba Jadza’ah) |
(lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul
Ahkaam, IV/461)
Hewan Qurban Cacat
Hewan qurban yang
cacat dapat dibagi menjadi 3:
1.
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk
berqurban, ada 4 (**):
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan tampak sekali sakitnya.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada
hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak
boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 &
Syarhul Mumti’ 3/294).
2.
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
3.
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban
(boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis
cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh
pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor,
bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari
ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat
dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan
Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut
menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis
cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana
dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat
hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat,
telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian
ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai
untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang
Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan
yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah
ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah
maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj:
32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa
orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan
gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih
hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu
adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara
mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al
Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga
jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah
berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan
masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu
‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang
lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan
Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang
Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama
menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau
onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih
Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul
Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
- Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
- Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
- Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus
Jantan?
Tidak ada
ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu
Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu
kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 &
An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al
Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan
betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga
boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya
hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh
karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi
yang Hendak Berqurban
Orang yang
hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang
yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki
sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin
berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan
kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan
untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau
sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan
maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan
ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga
shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala
keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2
alasan:
- Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu
Penyembelihan
Waktu
penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari
tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap
hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan
Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam
sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan
di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal.
33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan
sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka
sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa
yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah
menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat
Penyembelihan
Tempat yang
disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied
diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk
menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum
muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang
baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan
untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri
ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih
Qurban
Disunnahkan
bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh
diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak
mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.”
Hal ini berdasarkan hadits
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang
menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri
kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara
Penyembelihan
- Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
- Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
- Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
- Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
- Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
- hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
- hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
- Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Pembagian Daging Qurban
Orang yang
berqurban boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan telah Kami
jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh
kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu
menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang
rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Hajj 36).
Hadits
Rasulullah SAW:
“Jika di antara
kalian berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya” (HR Ahmad).
Bahkan
dalam hal pembagian disunnahkan dibagi tiga. Sepertiga untuk dimakan
dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk tetangga dan teman, sepertiga yang
lainnya untuk fakir miskin dan orang yang minta-minta. Disebutkan dalam hadits
dari Ibnu Abbas menerangkan qurban Rasulullah SAW bersabda:
“Sepertiga
untuk memberi makan keluarganya, sepertiga untuk para tetangga yang fakir
miskin dan sepertiga untuk disedekahkan kepada yang meminta-minta” (HR Abu Musa Al-Asfahani).
Tetapi orang
yang berkurban karena nadzar, maka menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i,
orang tersebut tidak boleh makan daging qurban sedikitpun dan tidak boleh
memanfaatkannya.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
- Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
- Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
- Dihadiahkan kepada orang yang kaya
- Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah.
Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin.
Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع
جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
- Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
- Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
- Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
- Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
- Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
- Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
- Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Penutup
Sesuatu yang
perlu diperhatikan bagi umat Islam adalah bahwa berqurban
(udhiyah), qurban (taqarrub) dan berkorban (tadhiyah), ketiganya memiliki
titik persamaan dan perbedaan. Qurban (taqarrub), yaitu upaya seorang muslim
melakukan pendekatan diri kepada Allah dengan amal ibadah baik yang diwajibkan
maupun yang disunnahkan. Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya
Allah berfirman (dalam hadits Qudsi): “Siapa yang memerangi kekasih-Ku, niscaya
aku telah umumkan perang padanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri
pada-Ku (taqarrub) dengan sesuatu yang paling Aku cintai, dengan sesuatu
yang aku wajibkan. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku
dengan yang sunnah, maka Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka
Aku menjadi pendengarannya dimana ia mendengar, menjadi penglihatannya dimana
ia melihat, tangannya dimana ia memukul dan kakinya, dimana ia berjalan. Jika
ia meminta, niscaya Aku beri dan jika ia minta perlindungan, maka Aku lindungi” (HR Bukhari).
Berqurban
(udhiyah) adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan
mengorbankan sebagian kecil hartanya, untuk dibelikan binatang ternak.
Menyembelih binatang tersebut dengan persyaratan yang sudah ditentukan.
Sedangkan berkorban (tadhiyah) mempunyai arti yang lebih luas yaitu berkorban
dengan harta, jiwa, pikiran dan apa saja untuk tegaknya Islam. Dalam
suasana dimana umat Islam di Indonesia sedang terkena musibah banjir, dan
mereka banyak yang menjadi korban. Maka musibah ini harus menjadi pelajaran
berarti bagi umat Islam. Apakah musibah ini disebabkan karena mereka menjauhi
Allah SWT dan menjauhi ajaran-Nya? Yang pasti, musibah ini harus lebih
mendekatkan umat Islam kepada Allah (taqqarub ilallah). Melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan yang tidak tertimpa musibah banjir
ini dituntut untuk memberikan kepeduliannya dengan cara berkorban dan
memberikan bantuan kepada mereka yang terkena musibah. Dan di antara bentuk
pendekatan diri kepada Allah dan bentuk pengorbanan kita dengan melakukan
qurban penyembelihan sapi dan kambing pada hari Raya ‘Idul Adha dan Hari
Tasyrik. Semoga Allah menerima qurban kita dan meringankan musibah ini, dan
yang lebih penting lagi menyelamatkan kita dari api neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar