Alhamdulillaah, tak terasa kita sudah berada di
penghujung bulan Ramadhan. Bulan yang di dalamnya penuh dengan keberkahan baik
spiritual maupun material (ekonomi). Mudah-mudahan kita terus dikaruniai
hidayah dan taufiqNya sehingga kita dapat memaksimalkan ibadah di penghujung
Ramadhan ini, dan diberikan kesempatan untuk bertemu lagi di tahun yang akan
datang. Aamiin.
Menjelang lebaran ini, adalah waktunya umat
muslim membayar zakat fitrah kepada orang fakir dan miskin. Biasanya, di masjid-masjid
dan mushala-musahala mulai dibentuk panitia amil zakat yang bertugas menghimpun
pembayaran zakat dari masyarakat, baik berupa beras atau uang tunai, untuk
kemudian disalurkan kepada kalangan yang berhak.
Selain membayar melalui amil, zakat fitrah
kadang langsung diberikan kepada orang yang berhak menerima (mustahiq),
tanpa perantara amil. Membayar zakat lewat amil atau bayar langsung ke target,
itu pilihan / diperbolehkan, sah-sah saja.
Hal-hal tersebut memunculkan banyak pertanyaan,
apakah itu yang dinamakan zakat? Mengapa insiden tersebut berulang-ulang
terjadi di tiap tahunnya? Apakah orang-orang kaya itu kurang paham aturan zakat
atau saking pahamnya mereka dapat mengubah aturan zakat dengan “kreativitas”
masing-masing? Apakah orang-orang miskin itu memang harus antri mengambil
sesuatu yang memang sudah seharusnya menjadi hak mereka?
Melalui zakat, Islam berupaya
mewujudkan kesetaraan dan pemerataan distribusi ekonomi dalam masyarakat,
mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dan memberdayakan si
miskin secara ekonomi sehingga hidupnya bisa mandiri. Maka, harusnya Zakat
itu memuliakan dan membahagiakan.
Namun lewat pemberian zakat secara
langsung dan melibatkan ribuan massa, yang terjadi ialah penghinaan dan pelecehan
terhadap si miskin. Hanya untuk sekantung beras dan beberapa lembar rupiah,
orang-orang miskin ‘dipaksa’ untuk mengantri, berdesak-desakan, dan
terinjak-injak. Di lain pihak, orang miskin pun ‘rela’ diperlakukan bagai
hewan. Himpitan ekonomi telah membuat mereka kehilangan ‘martabat’. Mereka
hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Pembagian zakat seperti ini juga
kental akan kesan show, riya’, pamer. Bukankah dalam Alquran kita
diperintahkan untuk tidak riya dalam memberi sedekah? Bukannya mendapat
berkah dari membayar zakat, justru laknat didapat.
Boleh jadi, kesalahkaprahan pembagian zakat yang sekarang berkembang merupakan buah dari pemahaman yang salah tentang definisi zakat itu sendiri. Untuk itu, mari kita telaah kembali makna dari ibadah berdimensi sosial ekonomi ini.
Definisi Zakat
Menurut Bahasa (lughat),
zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi)
atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10)
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)
Kemudian secara istilah seperti yang dimuat
dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada pasal 1 bab 1
ketentuan umum dijelaskan bahwa definisi zakat adalah harta yang wajib
disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Secara bahasa, kita dapat memahami bahwa makna dasar dari zakat adalah
pertumbuhan, perkembangan atau pertambahan. Hal ini tentu sangat sejalan dengan
konsep ekonomi yang berprinsip senantiasa mengalir (flow concept).
Kemudian dipandang dari sudut hukum positif, jelas bahwa zakat adalah bagian
harta orang lain yang keberadaannya untuk sementara “dititipkan” oleh Allah
kepada orang muslim yang lebih mampu. Artinya, jika si kaya tidak segera
memenuhi kewajibannya untuk membayar zakat sama saja mereka telah mencuri harta
si dhuafa.
Selain itu, ada
istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib
dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain
mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan
shadaqah..
Hukum Zakat
Zakat merupakan
salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya
syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu)
atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk
dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur
secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah, sekaligus merupakan
amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan ummat manusia.
Syarat Wajib dan Sah Zakat
Selanjutnya kita juga perlu mengetahui
syarat-syarat yang wajib diketahui para penunai kewajiban zakat atau biasa
disebut muzakki. Dalam kitab al-fiqh al-Islamiy wa
Adillatuhu membaginya menjadi 2, yaitu syarat wajib dan syarat sah
zakat.
Adapun syarat wajib zakat di antaranya:
1.
Merdeka
2.
Islam
3.
Baligh dan berakal
4.
Harta tersebut merupakan harta yang memang
wajib dizakati
contoh: emas
dan perak, barang tambang dan barang temuan (rikaz), barang dagangan,
tanam-tanaman dan buah-buahan, serta hewan ternak.
5.
Harta tersebut telah mencapai nishab (ukuran
jumlah yang memenuhi untuk dikeluarkan zakat). Kadar nishab dari
harta yang wajib dizakati adalah 20 Dinar emas atau 200 Dirham perak.
6.
Harta tersebut adalah milik penuh dari
pemiliknya (al-milk al-tam)
7.
Harta yang dimiliki telah berlalu satu tahun
atau cukup haul (ukuran waktu atau masa)
8.
Tidak adanya hutang
9.
Melebihi kebutuhan dasar atau pokok
10.
Harta tersebut harus didapatkan dengan cara
baik dan halal
11.
Harta yang dimiliki berpotensi untuk terus
berkembang
Selanjutnya yang termasuk syarat sah zakat yaitu:
1.
Adanya niat muzakki (orang
yang mengeluarkan zakat)
2.
Pengalihan kepemilikan dari muzakki ke mustahiq (orang
yang berhak menerima zakat)
Jenis Zakat
Setelah memahami syarat-syaratnya, mari kita
pahami jenis-jenis dari zakat. Secara umum terbagi menjadi 2, yaitu:
1.
Zakat maal: bagian dari harta
kekayaan seseorang (juga badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan
orang-orang tertentu setelah dipunyai selama jangka waktu tertentu dalam jumlah
minimal tertentu. Contoh: zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat
berharga.
2.
Zakat fitrah: adalah pengeluaran
wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari keperluan
keluarga yang wajar pada malam dan hari raya Idul Fitri.
Dari Muzakki, Oleh Amil, Kepada Mustahik
Pada pembahasan pertama, telah kita membahas
definisi zakat dari sudut pandang bahasa dan istilah. Pertanyaan yang kemudian
muncul adalah bagaimana mewujudkan definisi tersebut menjadi sebuah aktivitas
yang berperan penting bagi pengembangan ekonomi umat? Siapa saja stakeholder
yang harus terlibat agar aliran dana zakat bisa berjalan dengan lancar? Untuk
itu, mari kita bahas satu per satu.
Zakat merupakan ibadah yang pelaksanaannya
terdiri dari tiga komponen utama: muzakki, amil dan mustahiq.
Adapun definisi singkat dari ketiga komponen
tersebut yakni:
a. Muzakki : orang
yang wajib mengeluarkan zakat
b. Amil : orang
yang bertugas menerima zakat dan menyalurkannya kepada mustahiq
c. Mustahiq : orang
yang berhak menerima zakat yang terdiri dari delapan golongan:
- Faqir
- Miskin
- Amil (orang
diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan harta zakat)
- Mu’allaf (orang
yang baru masuk Islam yang masih lemah sehingga memerlukan bantuan moril dan
materiil)
- Riqaab (untuk
memerdekakan budak, termasuk untuk melepaskan orang muslim yang ditawan oleh
orang yang bukan muslim)
- Ghaarim (orang
yang berhutang atau bangkrut)
- Sabilillah (orang
yang berjuang di jalan Allah, baik individu seperti guru agama atau lembaga seperti
pesantren maupun instansi)
- Ibnu
Sabil (orang yang sedang dalam perjalanan atau terlantar)
Sebuah
ketentuan agama tentu memiliki maksud dan tujuan, termasuk zakat. Allah telah
menciptakan skema yang indah dalam ibadah ini melalui ketiga komponen tersebut.
Zakat memiliki fungsi perantara sosial yang
pelaksanaannya dimulai dari muzakki, dikelola oleh amil dan
diperuntukkan bagi mustahiq.
Setelah kita
mengetahui ada 3 komponen penting dalam zakat (muzakki, amil, mustahiq)
kemudian kita korelasikan dengan munculnya kasus, atau insiden di setiap pembagian
zakat secara langsung yang melibatkan ribuan massa dan terjadi berulang di
setiap tahunnya. Maka muculah beberapa pertanyan, mengapa saudara-saudara kita
hartawan tetap ngotot untuk membayarkan zakatnya secara langsung dan melibatkan
ribuan massa? Jawabannya ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama, karena
saking ibanya dan tidak kuat lagi melihat kemiskinan di sekitar mereka
(hartawan), maka tidak perlu berpikir panjang, ia membayarkan zakatnya secara
langsung kepada fakir miskin. Untuk sementara riya’ ia kesampingkan, karena ini saatnya memberi dan membagi. Kalaupun
Tuhan benar menganggap itu riya’, minimal ratusan (mungkin ribuan) orang
miskin yang mengantre kepadanya sudah dapat uang dan bisa makan. Itu dulu
dilakukan.
Kemungkinan kedua, adanya krisis kepercayaan terhadap amil atau
lembaga pengelola zakat yang ada. Kita
tidak pernah tahu soal pengelolaan harta umat ini selama 11 bulan di luar
Ramadhan.Berapakah dana zakat kita dan bagaimana peruntukannya? Mengapa makin
banyak zakat yang dikumpul yang makin sejahtera itu justru amil dan
bukannya fakir miskin?
Yayasan
Perjuangan Wahidiyah dalam hal ini termasuk mustahiq (Sabilillah) adalah
salah satu lembaga islami, lembaga khidmah, wadah bagi pengamal sholawat
wahidiyah yang memperjuangkan / dengan sungguh-sungguh lahir dan bathin mengusahakan
umat masyarakat agar mencapai kejernihan hati menuju sadar ma’rifah
kepada Allah wa Rasuulihi saw. Dalam meraih tujuan tersebut, Yayasan Perjuagnan
Wahidiyah (YPW) mengelola pondok pesantren, lembaga
pendidikan dari mulai TK, SD, SMP, SMU dan UNIVERSITAS. Bahkan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin, YPW juga membentuk Departemen
Koperasi Wahidiyah. Bagi saudara-saudara kita muzakki yang mengamalkan
Sholawat Wahidiyah insya Allah telah tepat dan benar bila menyalurkan zakat mal
dan fitrahnya ke YPW. Alasannya, dari segi niat (bathiniah) kita telah
diajarkan sejak dini untuk selalu menerapkan Lillah-Billah, melaksanakan
segala ibadah haruslah disadari dalam hati hanya untuk dan karena Allah semata.
Di bidang syar’i, dalam melaksanakan zakat, petugas penerima (penarik) zakat
mendatangi rumah kita, insya Allah terhindar dari riya’. Dengan kita
salurkan/bayarkan zakat kita ke YPW insya Allah zakat kita bernialai mensucikan, memuliakan dan
membahagiakan.
Akhir kata, mari kita memohon kepada Allah SWT dengan bershalawat kepangkuang Baginda Agung Rasuulullah SAW, semoga kita senantiasa dikaruniakan hidayah, taufiq serta fadlol-Nya sehingga kita dapat melaksankan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya dengan baik, benar dan tepat.
Selamat
berzakat
يا شفع الخلق الصلاة والسلام ◊
عليك نورالخلق هادي الانام
واصله وروحه ادركني ◊
فقد ظلمت ابدا وربني
وليس لى ياسيدى سوا كا ◊
فإتردكنت شخصاهالكا
ياسيّدى يارسول الله ، ياسيّدى يارسول الله ، ياسيّدى يارسول
الله
والله أعلام بالصواب
*) disarikan dari berbagai sumber
YAA SAYYIDII YAA RASULALLOH salam kenal pak
BalasHapusJazaakumullaah...
BalasHapusSalam kenal kembali...