Imam Hatim al-Asham, nama lengkapnya Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan (wafat pada tahun 237
H/751 M). Dia termasuk tokoh guru besar (syaikh) Khurasan, murid Syaikh Saqiq,
guru Ahmad bin Khadrawaih. Hatim dijuluki ‘al-Asham’ bukan karena ia
tuli, tetapi pernah sekali ia berpura-pura tuli karena menjaga kehormatan
seseorang sehingga ia dijuluki demikian.
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq bercerita tentangnya, “Seorang wanita datang kepada Hatim. Ia bermaksud menanyakan sesuatu kepadanya. Namun, di tengah mengutarakan pertanyaannya, wanita itu tiba-tiba buang angin sehingga membuatnya merasa malu. Hatim tahu apa yang berada di balik perasaan tamunya. Dia tidak ingin tamunya bertambah malu karena suara buang angin yang didengarnya. Karena itu, dia mencoba menutupinya dengan berkata,‘Keraskan suaramu!’
Berikut kisah dialog Hatim al-Asham dengan gurunya, Syaqiq al-Balkhi… Semoga bermanfaat.
Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada muridnya, Hatim al-Asham: “Berapa lama kamu nyantri kepadaku?”
Hatim menjawab: “Sudah sejak 33 tahun yang lalu…”
Syaqiq bertanya lagi: “Apa yang kamu pelajari dariku selama itu?”
Hatim menjawab: “Ada delapan perkara…”
Syaqiq
berkata: “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Aku habiskan umurku
bersamamu selama itu, dan kamu tidak belajar kecuali delapan perkara?!”
Hatim menjawab: “Guru, aku tidak belajar selainnya. Sungguh aku tidak bohong…”
Syaqiq kemudian berkata lagi: “Coba jelaskan kepadaku apa yang sudah kamu pelajari…”
Hatim menjawab:
“Pertama,
saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka
menyukai kekasihnya hingga ke kuburannya. Tapi ketika dia sudah sampai
di kuburnya, kekasihnya justru berpaling darinya… Maka saya kemudian
menjadikan amal kebaikan sebagai kekasih saya, yang apabila saya
meninggal dan masuk ke liang kubur, dia akan ikut bersama saya…
Syaqiq berkata: “Pinter kamu Hatim. Sekarang apa yang kedua?”
Kedua, saya memperhatikan firman Allah Ta’ala:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأْوَى
(Dan
adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).) [Surat an-Nazi’at (79): 40-41]
Maka
saya ketahui bahwa firman Allah-lah yang benar. Karena itu saya
meneguhkan diri saya dalam menolak hawa nafsu, hingga saya mampu
menetapi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Ketiga,
saya memperhatikan manusia, dan saya amati masing-masing memiliki
sesuatu yang berharga, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak
hilang. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
(Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah kekal) [Surat an-Nahl (16): 96]
Dari
situ, apabila saya memiliki sesuatu yang berharga, maka segera saja
saya serahkan kepada Allah, agar milikku terjaga bersamaNya tidak
hilang.
Keempat,
saya memperhatikan manusia dan saya ketahui masing-masing mereka
membanggakan harta, kemuliaan leluhur, pangkat dan nasabnya. Kemudian
saya membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
(Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian) [Surat al-Hujurat (49): 13]
Maka saya berusaha untuk takwa, hingga menjadikan saya mulia di sisi Allah Ta’ala.
Kelima,
saya memperhatikan manusia, dan (saya tahu) mereka mencela dan mencaci
antara satu dengan yang lainnya. Saya tahu masalah utamanya di sini
adalah sifat iri hati. Maka saya kemudian membaca firman Allah Ta’ala:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا
(Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia) [Surat az-Zukhruf (43): 32]
Maka
saya kemudian menanggalkan sifat iri hati dan menghindar dari manusia,
karena saya tahu bahwa pembagian rizki itu benar-benar dari Allah
Ta’ala, yang menjadikanku tidak patut memusuhi dan iri kepada orang
lain.
Keenam,
saya memperhatikan manusia, yang mereka saling menganiaya dan memerangi
antara satu dengan yang lainnya. Kemudian saya melihat firman Allah
Ta’ala:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا
(Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian).) [Surat Fatir (35): 6]
Maka
kemudian saya menghindar dari memusuhi orang lain, dan sebaliknya saya
berusaha fokus dan penuh waspada dalam menghadapi permusuhan syaitan.
Ketujuh,
saya memperhatikan manusia, maka saya lihat masing-masing menghinakan
diri mereka sendiri dalam mencari rizki. Bahkan ada di antara mereka
yang berani menerjang hal-hal yang tidak halal. Saya kemudian melihat
kepada firman Allah Ta’ala:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
(Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya) [Surat Hud (11): 6]
Saya
kemudian menyadari bahwa saya adalah salah satu dari binatang yang
Allah telah menanggung rizkinya. Maka saya kemudian menyibukkan dengan
apa yang telah Allah anugerahkan kepadaku, dan sebaliknya saya
meninggalkan apa-apa yang tidak dibagikan kepadaku.
Kedelapan,
saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka
menyerahkan diri kepada makhluk lain seumpamanya: sebagian karena sawah
ladangnya, sebagian karena perniagaannya, sebagian karena hasil karya
produksinya, dan sebagian lain karena kesehatan badannya. Maka saya
melihat kepada firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
(Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya.) [Surat al-Thalaq (65): 3]
Maka
saya kemudian menyerahkan diri dan mempercayakan semuanya kepada Allah
Ta’ala, karena Dia akan mencukupi segala keperluanku..
Mendengar
pernyataan-pernyataan Hatim, sang guru yaitu Imam Syaqiq al-Balkhi
mendoakannya: “Semoga Allah memberi pertolongan kepadamu…”
الصلاة والسلام عليك وعلى اليك ياسيدى
يارسول الله
والله أعلام بالصواب
*)sumber: http://krapyak.org/category/artikel/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar