LARILAH KEMBALI KEPADA ALLAH

Larilah Kembali Kepada Allah photo faringfirrugraveigravelaringllaringh_zpsb9f801c3.gif
Bacalah Selalu Lisan Maupun dalam Hati "YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH"

Selasa, 14 Juni 2011

'IZZAH


Lelaki itu merangkul Nabi. Membekap badan dan membenamkan wajahnya ke wajah Nabi yang ditembus anak panah. Tak ada rasa pedulinya terhadap keselamatan diri, walau berpuluh anak panah menghujam dan kelebat pedang kaum kafir Quraisy terus menyapih batang tubuhnya. Di tengah perang Uhud yang berkecamuk itu, ia tersenyum. Menyunggingkan senyum keikhlasan seorang syuhada, untuk pelan-pelan kemudian roboh. Roboh menemui Rabb-nya, sebagai tentara di samping Rasuulullah yang mulia.
Untuk lelaki itu Rasuulullah bersabda : "Siapa yang ingin melihat darahku bercampur dengan darahnya, lihatlah Malik bin Sinan, ia telah menebus dirinya dengan badan dan jwanya."

Lelaki itu memang Malik bin Sinan r.a. Seorang sahabat yang paling miskin di antara sekian banyak sahabat. Pernah dilukiskan pada suatu hari beliau pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa dirham dan segenggam makanan. Segala sesuatu dicukupinya hanya dengan sisa-sisa makanan yang ada. Tanpa harus merepotkan sahabat yang lain. Konon kejadian itu berlangsung beberapa hari, sampai Rasuulullah SAW mendengar dan memberikan bantuan.

Adalah Bilal bin Rabbah, seorang budak dari negeri hitam Habsyi, kurus, berambut tebal, dan berjambang tipis. Tetapi Umar bin Khattab memberikan gelar "Pemimpin Kita" kepadanya. Bahkan Rasuulullah SAW sendiri pernah menyatakan ia sebagai "seorang laki-laki penduduk sorga".

Adalah Abdullah bin Mas'ud, sahabat nabi yang berperawakan kecil, kurus, miskin, dan bukan keturunan bangsawan. Tapi memiliki kedudukan yang istimewa dan dipercaya Rasuulullah. Sampai-sampai ketika sahabat menertawakan betisnya yang kecil dan ramping? saat ia memanjat pohon, Rasuulullah berkata: "Tuan-tuan menertawakan betis Ibnu Mas'ud... (tapi ketahuilah) keduanya di sisi Allah SWT lebih berat timbangannya dari bukit Uhud."

Mengapa, mengapa para sahabat yang miskin dan bukan publik figur tersebut demikian istimewa kedudukannya dalam sejarah Islam?
Mengapa Malik bin Sinan yang sering kelaparan itu kokoh memeluk semangat jihadnya Meski ia bisa saja memohon balik jasa dengan Rosul.
Mengapa Bilal, seorang budak begitu tinggi tempatnya dalam sejarah pertumbuhan Islam?
Mengapa Abdulllah bin Mas?ud begitu disayang oleh Rasulullah? Hal ini tidak lain karena ‘izzah (harga diri) mereka yang tinggi sebagai seorang muslim. Bukankah Malik bin Sinan yang memagari diri Rasuulullah dari incaran anak panah dan dencing pedang kaum Quraisy, sementara di punggungnya telah bersijajar puluhan anak panah, tapi ia tetap melindungi Rasulullah?
Bilal bin Rabbah yang dipanggang di tengah panas gurun pasir, ditindih batu besar dan didera oleh Umayyah bin Khalaf, tetapi dari bibirnya tidak lekang ucapan kalimat syahadat.

Bukankah juga Abdullah bin Mas'ud yang dipukuli orang-orang Mekkah karena dari mulutnya berkumandang ayat-ayat Al Qur'an. la pingsan dan begitu siuman ia langsung membaca Al Qur?an kembali. Dihajar lagi, pingsan lagi, bangkit dan membaca Al Qur'an lagi.
Lantas, mengapa orang-orang itu sanggup berbuat sedemikian rupa? Mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya demi keyakinan yang telah menghujam ke dalam dada dan perilakunya sehari-hari. Tak hanya harta dan tenaga, namun raganya sekalipun sanggup mereka korbankan.
Ya, mereka inilah para kader-kader tangguh hasil gemblengan Rasuulullah pada jamannya. Hati mereka menjadi bersinar dengan cahaya Islam. Cahaya itu tidak semata-mata diturunkan Allah SWT ke dalam hati mereka. Tapi butuh proses. Mereka belajar dan menerima pelajaran dari Rasuulullah. Pelajaran tentang betapa agungnya dan terhormatnya Islam dan menjadi umat Islam.
Pesona ‘izzah akan hadir di tengah umat manakala ia menyadari bahwa sumber segala sesuatu adalah Allah SWT. Ikatan gantungan hidupnya hanya satu yaitu Allah SWT (Billah). Dari sinilah berhembus segala kemuliaan dan keberkahan.
 
."………Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui". (Al Munafiquun:8)
Dengan sikap ini seorang muslim mampu mematut dirinya di hadapan manusia sesuai kehendak Kholiqnya. Standar menilai dan menimbang segala kebaikan dan keburukan datangnya dari Allah SWT. Inilah sikap yang dicontohkan oleh Bilal, Malik bin Sinan, dan oleh generasi "Khoiru Ummah" yang lain. Hanya ada satu neraca, yaitu neraca Allah SWT SWT.
Lantas, hari ini, kemanakah ‘izzah itu? Apakah kita simpan di dalam rumah kita pada kesempatan tertentu? Ataukah hanya kita wajibkan bagi sebagian orang saja? Atau beranikah kita menolak minum berdiri di pesta standing party dengan  alasan tidak sesuai dengan sunnah Nabi (lir-Rasul)? Atau mampukah kita sampaikan kebenaran (risalah Islam) kepada mereka dan mendapatkan berbagai ejekan dan cap negatif? Ataukah kita mampu duduk bersila, meratapi dan mengihitung-hitung dosa-dosa kita di setiap malam (muhasabah wa mujahadah)? Atau justru dalam permohonan itu timbul nafsu ananiyah (egois) hanya memikirkan diri kita sendir tanpa peduli untuk memohonkan ampun pula keluarga, saudara dan teman-teman kita?
Kiranya tanpa karomah-nadhrah Ghautsu Zaman ra, syafa’at-tarbiyah Rasuulullah saw, serta hidayah-taufiq dan fadlal Allah SWT benar-benar kita tak berharga sama sekali.
Wallaahu a’lamu bish showab
Sumber:http//mencintaiislam.co.cc dengan berbagai tambahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar