Sumber gambar: http://sosok.kompasiana.com/2011/12/05/ |
Akhir-akhir
ini kita sering mendengar kalimat “Orang Islam Harus kaya”. Kalimat ini bukanlah sesuatu yang tabu. Rasuulullah saw telah memberi rambu-rambu, “Bekerjalah
kalian seakan-akan kalian hidup seribu tahun lagi dan beribadahlah kalian
seakan-akan besok pagi akan mati”. Di
balik hadits tersebut tersirat sebuah pesan bahwa orang Islam harus mampu,
bahkan kaya dan menjadi terdepan dalam perekonomian global. Artinya Rasuulullah saw tidak menghendaki
umatnya miskin dan dilindas oleh keadaan. Dalam kesempatan lain pun Beliau
menerangkan “kefakiran lebih dekat kepada kekafiran”.
Hidup
Harus Kaya
Maukah
Anda hidup kaya? Jawabannya pasti, mau.
Mengapa
harus kaya?
Ini sangat mudah dijelaskan. Pertama, Hakikat
sebagai manusia adalah senang mendapat kemudahan dalam hidupnya, terutama
materi. Sehingga Rasulullah saw pun bersabda, "Sesungguhnya kefakiran
(kemiskinan) itu bisa menjerumuskan kejurang kekafiran." Kenapa?
Silakan kita semua lihat dan merefleksikan berbagai fenomena pemurtadan, hanya
karena ingin mendapat sebuah mie instan! Ya, sehingga dengan kaya, kita bisa
terus menjaga akidah dan menjadi muslim dermawan.
Kedua, bayangkanlah ketika kita sebagai muslim hidup
dalam kekurangan. Ketika istri kita tak dapat membeli makan malam, anak
menangis minta dibelikan susu, atau tagihan SPP sekolah yang nunggak, dan kita
sendiri kelaparan. Khusyukkah shalat kita? Saya yakin, yang ada kepala pusing, bahkan
mungkin bisa jadi kita tidak mau melaksanakan shalat. Karena su’udzon
kepada Allah swt. Dianggap Allah tidak adil. Kenapa si Anu diberi rejeki
melimpah, bak mata air yang tak pernah kering, bahkan menjadi kali atau sungai.
Semoga kita tidak ada rasa demikian, na’uu dzubillahi min dzalik.
Ketiga, masalah dakwah. Dengan kekayaan kita akan bisa
mengulurkan tangan dan bisa membantu lebih banyak. Kita akan leluasa bersedekah
dan melakukan aktivitas sosial semisal mengentaskan kemiskinan, menyantuni anak
yatim, mendirikan panti-panti, rumah sakit, menyumbang pembangunan masjid,
sarana pendidikan dan aktivitas dakwah lainnya.
Keempat, masalah puasa. Ketika hidup dalam keadaan
yang susah, maka puasa kita seolah-olah hanyalah sebagai rutinitas hidup dan
bukan diniatkan untuk ibadah. Biasa lapar, maka tidak makan seharian pun sudah
biasa. Maka ditakutkan kalau umat Islam berkekurangan, melaksanakan puasa itu hanya sebagai kebiasaan sehari-hari untuk
menahan lapar dan dahaga karena tidak memiliki uang untuk membeli makanan.
Kelima, masalah zakat dan sedekah. Jelas, kita tidak
bisa melaksanakan zakat, terutama zakat mal kalau kita tidak kaya? Padahal
keutamaan berzakat termasuk keutamaan yang besar. Zakat dijanjikan Allah mampu
menghapuskan dosa dan menyucikan diri kita.
Keenam, naik haji. Bagaimana mungkin naik haji kalau untuk hidup
sehari-hari sulit? Untuk kita jama'ah Indonesia, saat ini biaya ongkos naik
haji perlu diperhitungkan, karena cukup memakan biaya.
Enam hal di
atas hanya sebagian kecil dari alasan mengapa sebagai umat Islam, kita harus
kaya.
Zuhud
Ada
pertanyaan, apakah Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah itu seorang
yang kaya raya? Apakah para sahabat juga demikian? Bukankah agama kita
menganjurkan untuk zuhud, menghindari dunia? Bukankah Rasulullah saw sering
tidur hanya berlaskan pelepah kurma, bahkan perutnya sering diganjal dengan
batu untuk menahan lapar? Khalifah Umbar ibnu Khatab juga demikian, tidurnya
beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah
makan kenyang.
Juga
diterangkan di dalam Al-Surah Al-Hadid : 20
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Bukankah
ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu,
batil, dan sekadar permainan belaka? Dan masih banyak lagi ayat al-Qur’an maupun
hadits yang menjelaskan untuk menghindari keduniawian.
Untuk
mengurai permasalahan di atas, maka mari kita mengkaji bersama dan mari kita
mulai dari Pengertian Zuhud.
Tidak
ada istilah dalam al-Quran yang menyatakan bahwa manusia harus bersikap zuhud.
Istilah tersebut hanya terdapat dalam hadis Nabi dan ucapan para imam suci.
Kendati tidak diragukan lagi bahwa inti pengertian dari zuhud juga terkandung
dalam al-Quran. Namun, secara khusus, pengertian zuhud banyak disampaikan dalam
berbagai ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kwj. Istilah zuhud telah
sangat populer di kalangan kita.
Julukan
zuhud acapkali dinisbahkan kepada banyak individu secara sembarangan.
Kadangkala, seseorang mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang sangat zuhud.
Namun, pada saat kita telusuri orang tersebut, akan nampak kenyataan bahwa ia
hanya menjalani kezuhudan secara negatif. Artinya, ia berasumsi bahwa
keselamatan akhirat hanya dapat diraih dengan meninggalkan yang berbau dunia,
meningalkan pekerjaan dengan dalih ibadah.
Makna Zuhud secara
bahasa:
Zuhud menurut
bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan
karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun
zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.
Makna Zuhud secara
istilah:
Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil
oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang
tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.
Al-Hasan Al-Bashri, seorang tabi’in yang sangat
terkenal kezuhudannya menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang
halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih
mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu.
Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja,
sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang
mencelamu dalam kebenaran.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa seseorang bisa dikatakan zuhud bila tiga perkara ini
ada dalam dirinya:
1.
Apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai
daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya
yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah.
2.
Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan
harta, kematian anak atau yang lainnya, dia lebih mengharapkan ridha Allah daripada mengharapkan kembalinya harta atau
anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada
Allah.
3.
Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya
ketika ia berada di atas kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang
menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan.
Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela
atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena
mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama
kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan
bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan
rasa cinta kepada kebenaran.
Jadi,
tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan,
kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan
kepada Allah.
Maka hakekat zuhud itu berada di dalam hati, pekerjaan
hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati
seorang hamba. Lahiriyahnya pekerja keras, sementara hatinya dipenuhi rasa
cinta kepada Allah dan akhirat. Setiap
hari, pergi subuh, pulang jam 10 bahkan jam 12 malam, misalnya. Tetapi ia tetap
ingat akan panggilan Allah. Hatinya halus, mudah tersentuh dan segera berempati
bila melihat orang susah. Maka Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara
total dan menjauhinya.
Disyari’atkannya
Zuhud
Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi
orang yang menjalaninya adalah tentu zuhud yang dicintai oleh Allah dan
rasul-Nya (lillah dan lirrasul), yaitu meninggalkan segala
sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu
yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya,
maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari
sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda
Nabi,
“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan
mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim
hadits no. 4816)
Perkara yang bermanfaat bagi seorang hamba
adalah beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya
(lillah dan lirrasul). Dan semua yang menghalangi hal ini adalah
perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling
berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah (lillah-billah).
Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan
rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perangkap
hawa nafsu. Jika kita telah menjadi tawanan hawa
nafsu, kita akan diatur dan didikte olehnya. Kita akan menjadi rakus terhadap
harta dan kekayaan. Kita juga akan menjadi seseorang yang gila pangkat dan kedudukan.
Demikian seterusnya.
Segala sesuatu
yang digunakan semata-mata untuk memenuhi selera hawa nafsu merupakan
keburukan. Namun, jika kita mau bertaubat dan mulai memperbaiki diri, tidak
menjadi penyembah berhala hawa nafsu, menjauhkan egoisme dari dalam diri,
memiliki tujuan sosial, menjadi seorang religius yang taat kepada Allah (lillah-billah,
lirrasul-birrasul) maka harta dan kekayaan yang merupakan kekuasaan, akan kita
gunakan untuk tujuan suci dan mulia. Ini merupakan ibadah. Begitu pula jika kita
menginginkan pangkat dan kedudukan hanya karena mengisi hak potensi yang ada
pada diri kita, merupakan bentuk syukur atas anugerah yang dikarunikaan kepada
diri kita berupa potensi dan kemampuan diri untuk menduduki suatu jabatan.
Menurut
Ibnu Al Qoyyim ra serta ulama lain zuhud mempunyai empat
tingkatan:
Pertama, zuhud wajib bagi setiap muslim. Yaitu zuhud
terhadap perkara haram. Yakni dengan cara meninggalkannya.
Kedua, zuhud yang bersifat sunnah (mustahabbah).
Yaitu zuhud terhadap perkara-perkara makruh dan perkara-perkara mubah yang
berlebihan. Maksudnya, perkara mubah yang melebihi kebutuhan, baik makan,
minum, pakaian dan semisalnya.
Ketiga, zuhud orang-orang yang berpacu ketika berjalan
menuju Allah Ta'ala. Zuhud pada tingkat ini ada dua macam:
1.
Zuhud
terhadap dunia secara umum. Maksudnya bukan mengosongkan tangan menjadi
menghampa dari dunia, dan bukan pula membuang dunia. Tetapi maksudnya,
menjadikan hati kosong secara total dari hal-hal yang serba bersifat duniawi.
Sehingga hati tidak tergoda oleh dunia. Dunia tidak dibiarkan menempati
hatinya, meskipun kekayaan dunia berada di tangannya.
2.
Zuhud
terhadap diri sendiri (nafsu). Memerangi hawa nafsu, ini merupakan zuhud yang
terberat.
Keempat, zuhud
terhadap perkara syubhat. Yaitu dengan cara meninggalkan perkara yang
belum jelas bagi seseorang, apakah halal atau haram. Inilah zuhudnya
orang-orang yang wara’ (menjaga kehormatan)
الصلاة
والسلام عليك وعلى اليك ياسيدى يارسول الله
والله أعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar