TAFSIR SURAH AL-KAUTSAR
اعوذبالله من الشيطان الرجيم
بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّا أعْطَيْنَكَ الْكَوْثَرَ (١) فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢) إنَّ شَانِأَكَ هُوَالْاَبْتَرُ(٣)
Terjemah:
1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu;
dan berkorbanlah
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci
kamu Dialah yang terputus
(Terjemah / Indonesia / DEPAG / Surah Al Kautsar)
Surah ini termasuk surah Makkiyah, terdiri dari tiga ayat, diturunkan setelah surah Al-‘Adiyat. Hubungan surah ini dengan surah sebelumnya (surah Al-Ma‘un), adalah bila Allah menjelaskan dalam surah terdahulu tentang orang yang mendustakan agama dengan empat macam sifat, yaitu al-bukhl (bakhil), tidak mau melakukan salat, riya, dan tidak mau memberikan pertolongan, maka dalam surah Al-Kautsar Allah menyebutkan sifat-sifat yang dikaruniakan kepada Rasulullah SAW. berupa kebaikan dan keberkahan. Disebut-kan bahwa Beliau SAW diberi Al-Kautsar, yang berarti kebaikan yang banyak, dorongan untuk melakukan salat dan membiasakan-nya, ikhlas dalam melakukannya dan bersedekah kepada kaum fuqara.
Asbâb al-nuzûl surah ini ialah sebagai berikut:
Orang-orang musyrik Mekkah dan orang-orang munafik Madinah mencela dan mengejek
Nabi SAW. dengan beberapa hal. Pertama, orang-orang yang mengikuti Beliau
SAW adalah orang-orang dhu‘afa, sementara orang-orang yang tidak mengikutinya
adalah para pembesar dan pejabat. Andaikan agama yang dibawakan itu benar,
tentu pembela-pembelanya itu ada dari kelompok orang pandai yang memiliki
kedudukan di antara rekan-rekannya.
Pernyataan mereka seperti itu bukanlah hal yang baru. Dulu, kaum Nabi Nuh a.s. juga berkata demikian kepada nabi mereka. Dikisahkan dalam Al-Quran sebagai berikut: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) manusia biasa seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Hud, 11:27).
Pernyataan mereka seperti itu bukanlah hal yang baru. Dulu, kaum Nabi Nuh a.s. juga berkata demikian kepada nabi mereka. Dikisahkan dalam Al-Quran sebagai berikut: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) manusia biasa seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Hud, 11:27).
Memang
sudah begitu adanya, orang yang paling cepat memenuhi dakwah Rasul adalah para
dhu‘afa. Itu disebabkan, di antaranya, karena mereka tidak memiliki harta
sehingga tidak perlu takut hartanya akan tersia-siakan di jalan dakwah.
Orang-orang dhu‘afa juga tidak memiliki pangkat atau kedudukan yang menyebabkan
mereka takut akan kehilangan pangkat atau kedudukannya di hadapan kedudukan
yang dikaruniakan oleh Shâhib Al-Da‘wah.
Kebersamaan
para dhu‘afa itu memang tidak disenangi oleh para tuan dan pembesar. Sehingga,
ketika kelak mereka masuk ke dalam agama Allah, mereka masuk dalam keadaan
benci. Karena itu seringkali terjadi perdebatan antara mereka dan para rasul.
Mereka berusaha untuk melenyapkan dan mengganggu pengikut-pengikut Rasul. Namun
Allah menolong rasul-rasul-Nya, memperkuat dan memperkokoh mereka.
Sikap
para pembesar seperti itu terjadi pula pada Rasul SAW. Karenanya, sungguh para
pembesar telah menentang Beliau SAW karena kedengkian mereka kepada Rasul dan
para pengikutnya yang berkedudukan rendah. Kemudian, ketika mereka melihat
putra-putra RasululSAW lah meninggal, mereka pun berkata: “Terputuslah
keturunan Muhammad, dan dia menjadi abtar.” Mereka mengira wafatnya
putra-putra Rasulullah SAW itu sebagai aib, sehingga mereka mencela Beliau SAW
dengan hal itu, dan berusaha memalingkan manusia dari mengikutinya. Apabila
mereka melihat syiddah (kesulitan) yang turun kepada orang-orang Mukmin,
mereka senang dan menunggu kekuasaan itu bergeser kepada mereka. Mereka
berharap kekuasaan itu hilang dari kaum Muslim, sehingga kedudukan mereka yang
sempat digoncangkan oleh agama baru itu kembali lagi kepada mereka.
Atas
dasar itu, surah Al-Kautsar ini turun untuk menegaskan kepada Rasulullah SAW.
bahwa apa yang diharapkan oleh orang-orang kafir itu merupakan harapan yang
tidak ada kebenarannya; untuk menggoncangkan jiwa orang-orang yang tidak mau
menyerah dalam pendiriannya, yang tidak lembut tiang-tiangnya, orang-orang yang
berkepala batu; untuk menolak tipuan orang-orang musyrik dengan
sebenar-benarnya; dan untuk mengajarkan kepada mereka bahwa Rasul akan
ditolong, sementara pengikut-pengikut-nya akan memperoleh kemenangan.
Tafsir Surah Al-Kautsar
إنَّا أعْطَيْنَكَ الْكَوْثَرَ
، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ، إنَّ شَانِأَكَ هُوَالْاَبْتَرُ
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.
Maka salatlah kamu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya pembenci-mu itulah yang akan
binasa. (QS Al-Kautsar, 108:1-3).
1.
Al-Kautsar. Al-kautsar ialah bekal atau belanja dalam jumlah yang
banyak. Al-kautsar artinya yang banyak memberi. Yang dimaksud dengan al-kautsar
di sini ialah kenabian, agama yang benar, petunjuk dan apa yang ada di dalamnya
tentang kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Al-Abtar. Menurut asal katanya, al-abtar adalah binatang yang terpotong ekornya. Adapun yang dimaksud al-abtar di sini ialah orang yang namanya tidak berlanjut dan jejaknya tidak kekal. Pengumpamaan kekalnya sebutan yang baik dan berlanjutnya jejak yang indah dengan ekor binatang karena ekor binatang itu mengikuti binatangnya dan menjadi perhiasan baginya. Sehingga, orang yang tidak memiliki sebutan yang kekal dan jejak indah yang berlanjut diibaratkan sebagai orang yang ekornya terlepas atau terputus.
Dengan surah ini Allah hendak menegaskan sebagai berikut: Aku telah memberikan kepadamu pemberian yang banyak sekali yang jumlahnya tidak terhitung. Aku telah mengaruniaimu berbagai karunia, yang tidak mungkin sampai pada hakikatnya. Apabila musuh-musuhmu menganggap enteng dan kecil terhadap karunia itu, maka itu disebabkan karena kerusakan pikiran dan lemahnya persepsi mereka. Shalatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah. Jadikanlah shalatmu hanya kepada Tuhan saja, dan sembelihlah sembelihanmu yang merupakan pengorbananmu bagi Allah jua. Sebab, Allahlah yang memeliharamu dan melimpah-kan kepadamu segala nikmat-Nya, bukan yang lain, seperti Aku telah memerintahkan kepada para nabi-Ku:
2. Al-Abtar. Menurut asal katanya, al-abtar adalah binatang yang terpotong ekornya. Adapun yang dimaksud al-abtar di sini ialah orang yang namanya tidak berlanjut dan jejaknya tidak kekal. Pengumpamaan kekalnya sebutan yang baik dan berlanjutnya jejak yang indah dengan ekor binatang karena ekor binatang itu mengikuti binatangnya dan menjadi perhiasan baginya. Sehingga, orang yang tidak memiliki sebutan yang kekal dan jejak indah yang berlanjut diibaratkan sebagai orang yang ekornya terlepas atau terputus.
Dengan surah ini Allah hendak menegaskan sebagai berikut: Aku telah memberikan kepadamu pemberian yang banyak sekali yang jumlahnya tidak terhitung. Aku telah mengaruniaimu berbagai karunia, yang tidak mungkin sampai pada hakikatnya. Apabila musuh-musuhmu menganggap enteng dan kecil terhadap karunia itu, maka itu disebabkan karena kerusakan pikiran dan lemahnya persepsi mereka. Shalatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah. Jadikanlah shalatmu hanya kepada Tuhan saja, dan sembelihlah sembelihanmu yang merupakan pengorbananmu bagi Allah jua. Sebab, Allahlah yang memeliharamu dan melimpah-kan kepadamu segala nikmat-Nya, bukan yang lain, seperti Aku telah memerintahkan kepada para nabi-Ku:
قُلْ إِنَّالصَّلَاتِى
وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن ◊
لَاشَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَا لِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْاَوَّلُ الْمُسْلِمِيْن (الانعام
: ١٦٣-١٦٢)
Katakanlah, sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidupku
dan matiku untuk Allah yang mengurus alam semesta ini. Tidak ada sekutu
bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan. Dan aku menjadi Muslim yang pertama.
Setelah
menggembirakan Rasuulullah SAW dengan sebesar-besarnya kabar gembira, dan
meminta Beliau SAW untuk bersyukur kepada-Nya atas nikmat dan kesempurnaannya,
lalu Allah menegaskan bahwa musuh-musuh Beliau SAW-lah yang justru akan
terkalahkan dan terhinakan,
إِنَّ شَانِأَكَ
هُوَالْأَبْتَر
”Sesungguhnya
pembencimu, baik yang dulu maupun yang sekarang, akan terputus namanya dari
kebaikan dunia dan akhirat, sehingga keturunanmu akan kekal dan akan kekal juga
nama dan jejak-jejak keutamaanmu sampai hari kiamat.”
Sebenarnya
para pembenci itu tidaklah membenci Rasuulullah SAW karena kepribadiannya.
Mereka sebetulnya mencintai Beliau SAW lebih dari kecintaan kepada mereka
sendiri. Namun, mereka marah kepada apa yang dibawakan oleh Beliau SAW berupa
petunjuk dan hikmah yang merendahkan agama mereka, mencela apa yang mereka
sembah, dan memanggil mereka kepada sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka
lakukan selama ini.
Allah
sudah menegaskan dan membuktikan kepada pembenci-pembenci Rasuulullah SAW di
kalangan Arab dan ajam pada zaman Beliau SAW, bahwa mereka akan ditimpa
kehinaan dan kerugian, dan tidak tersisa dari mereka kecuali nama yang jelek. Allah
juga menegaskan dan membuktikan bahwa Nabi SAW dan orang-orang yang mendapat
petunjuk-Nya akan mendapatkan kedudukan di atas apa pun, sehingga kalimah
mereka menjadi kalimah yang paling tinggi.
Al-Hasan
rahimahullah wa ra. berkata: “Orang-orang musyrik disebut abtar
karena tujuan mereka terputus sebelum mereka mencapainya. Sejahterakanlah
Nabi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah Engkau tinggi-kan namanya; telah Engkau
rendahkan para pembencinya, dengan shalawat yang kekal, sekekal zaman.”
Penjelasan
di atas saya ambil dari tafsir Ibn Katsir. Di sini juga disebutkan beberapa
keterangan tentang al-kautsar, sebagai berikut:
1.
Telaga di Surga
2.
Kebaikan yang baik;
3.
Putra-putra Rasulullah
4.
Sahabat-sahabat dan pengikutpengikut Rasul SAW. hingga hari
kiamat;
kiamat;
5.
Ulama di kalangan umat Muhammad SAW;
6.
Al-Quran dengan segala keutamaannya yang banyak;
7.
Nubuwwah;
8.
Dimudahkannya Al-Quran;
9.
Islam;
10.
Tauhid;
11.
Ilmu;
12.
Hikmah; dan sebagainya.
Di
sini bahkan sampai diriwayatkan ada dua puluh enam mazhab tentang apa yang
dimaksud dengan al-kautsar. Tapi kita akan mengambil tharîqah
al-jam‘i (teori penggabungan), artinya seluruhnya benar. Kita mengambil
yang umum, al-kautsar adalah kenikmatan yang banyak, yang dikaruniakan
kepada Muhammad SAW. dan umatnya. Dan kenikmatan itu bisa berupa Al-Quran, atau
petunjuk Allah, atau bertambah-nya pengikut Beliau SAW sampai akhir zaman
hingga tidak terputus setelah Beliau SAW meninggal dunia, atau bisa juga telaga
di surga.
Memang
diriwayatkan dalam Shahîh Al-Bukhâri, bahwa nanti di surga penghuninya
akan diberi minum dari telaga yang bernama Al-Kautsar. Al-Bukhari meriwayatkan
bahwa pada suatu saat sekian banyak orang akan digiring ke telaga Al-Kautsar.
Yang diberi minum dari telaga hanyalah umat Rasulullah SAW. Tetapi ketika sudah
mendekat ke telaga Al-Kautsar, mereka diusir oleh para malaikat. Lalu
Rasulullah SAW berteriak, “Sahabatku, sahabatku.” Kemudian Allah berfirman,
“Tidak. Mereka bukan sahabatmu. Engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat
sepeninggalmu.” Rasulullah SAW pun berkata, “Celakalah orang yang mengganti
ajaran-ajaran agamaku setelah aku meninggal.”
Selanjutnya, kata نَحَرْ –nahr, juga memiliki beberapa makna. Dalam bahasa Arab, salah satu arti kata nahr adalah ’berkurban’. Arti yang lain adalah bagian dada sebelah atas. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nahr ialah mengangkat tangan lurus dengan bahu sebelah atas. Sehingga, kata mereka, maknanya adalah, “Shalatlah kepada Tuhanmu, ucapkan kebesaran nama Tuhanmu sambil meng-angkat tangan selurus bahu.” Begitu kata mereka. Pendapat ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hatim, Al-Hakim, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi. Dalam Sunannya, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Ketika surah ini diturunkan kepada Nabi SAW., Beliau SAW bertanya kepada Jibril: ‘Apa yang dimaksud dengan nahr yang diperintahkan oleh Allah di sini?’ Jibril berkata: ‘Yang dimaksud di sini bukan berkurban. Maksud kata ini adalah memerintahkanmu untuk mengangkat tangan saat menghormat dalam shalat, saat takbir, ruku, dan mengangkat kepala dari ruku. Sebab, itulah shalat kami dan salat malaikat yang berada di langit yang tujuh. Segala sesuatu itu memiliki perhiasan-nya. Dan perhiasan shalat adalah mengangkat tangan pada setiap takbir.’”
Selanjutnya, kata نَحَرْ –nahr, juga memiliki beberapa makna. Dalam bahasa Arab, salah satu arti kata nahr adalah ’berkurban’. Arti yang lain adalah bagian dada sebelah atas. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nahr ialah mengangkat tangan lurus dengan bahu sebelah atas. Sehingga, kata mereka, maknanya adalah, “Shalatlah kepada Tuhanmu, ucapkan kebesaran nama Tuhanmu sambil meng-angkat tangan selurus bahu.” Begitu kata mereka. Pendapat ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hatim, Al-Hakim, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi. Dalam Sunannya, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Ketika surah ini diturunkan kepada Nabi SAW., Beliau SAW bertanya kepada Jibril: ‘Apa yang dimaksud dengan nahr yang diperintahkan oleh Allah di sini?’ Jibril berkata: ‘Yang dimaksud di sini bukan berkurban. Maksud kata ini adalah memerintahkanmu untuk mengangkat tangan saat menghormat dalam shalat, saat takbir, ruku, dan mengangkat kepala dari ruku. Sebab, itulah shalat kami dan salat malaikat yang berada di langit yang tujuh. Segala sesuatu itu memiliki perhiasan-nya. Dan perhiasan shalat adalah mengangkat tangan pada setiap takbir.’”
Adapun mengenai اَلْاَبْتَرُ
–al-abtar, Al- Maraghi menyebutkan ada beberapa hal, yaitu:
1.
Dulu,
pengikut-pengikut Rasul SAW. yang pertama adalah kelompok dhu‘afa, fuqara dan
orang miskin. Kebanyakan mereka bodoh-bodoh sehingga diejek dengan sebutan sufahâ’,
orang-orang bodoh, walaupun kemudian Allah menegaskan, alâ innahum hum
al-sufahâ’, mereka (para pembesar) itulah yang bodoh. Mereka (para
pembesar) itu meng-anggap bahwa kalau agama yang dibawa oleh Muhammad itu
benar, tentu pengikutnya adalah orang-orang pandai, orang-orang besar, dan
orang-orang yang mengerti. Tetapi, mengapa para pengikutnya justru orang-orang
bodoh? Karena itulah mereka menganggap bahwa agama itu akan cepat abtar,
akan cepat lenyap, cepat terputus.
2.
Diriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW. mempunyai beberapa orang putra. Putra tertua bernama
Al-Qasim. Kemudian Zainab, Abdullah, Ummu Kultsum, Ruqayyah, dan Fathimah.
Al-Qasim meninggal. Setelah ia meninggal, Abdullah pun meninggal. Maka,
berkatalah Al-‘Ashi bin Wail Al-Sahmi, salah seorang pembesar Quraisy: “Sudah
terputus keturunan Muhammad; ia menjadi abtar, orang yang terputus
keturunannya.” Sebab itulah Allah menurunkan ayat, Inna syâni’aka huwa
al-abtar (Sesunguhnya pembencimulah yang akan binasa). Itulah pula sebabnya
sebagian ulama men-jelaskan bahwa yang dimaksud al-kautsar dalam surah
ini adalah keturunan Rasulullah SAW., yakni janji Allah bahwa keturunan
Muhammad tidak akan terputus, melainkan beranak pinak dalam jumlah yang banyak.
Dahulu, orang Arab menyebut seorang anak dengan nama bapaknya. Jadi, jika
seseorang tidak mem-punyai anak, maka namanya tidak akan disebut-sebut orang.
Dan ternyata, nama Rasulullah terus berlanjut dengan kenangan yang baik, hingga
sekarang.
3.
Merupakan
sunnah para nabi bahwa para pengikutnya pada umumnya berasal dari kelompok
dhu‘afa, dan bahwa para nabi dan pengikutnya selalu memilih bergaul dengan
kelompok dhu‘afa. Di India, saya mendengar bahwa Islam berkembang pesat karena
para ulamanya mendekati kelompok orang yang tidak memiliki kasta. Orang-orang
yang terlempar dari sistem kasta itu kemudian masuk ke dalam Islam dengan
berbondong-bondong, hingga orang-orang. Islam memiliki daya tarik yang besar
bagi kelompok dhu‘afa, orang-orang lemah. Saya perlu menegaskan ini
berkali-kali. Karena, selama ini orientasi dakwah kita hanya tertuju kepada
kelompok elit saja, atau kelompok menengah yang sekarang bangkit. Sementara
orang-orang miskin, dhu‘afa didekati oleh orang-orang non muslim.
Dalam Al-Qur’an, yang dimaksud dhu‘afa
bukan saja lemah dalam arti materi, tapi juga ilmu. Tapi, titik beratnya adalah
dhu‘afa dari segi materi. Orang yang lemah dari sisi kekayaan, biasanya lemah
juga dari sisi ilmu pengetahuan, kehidupan politik, dan kehidupan sosial.
Dhu‘afa adalah kelompok lemah, orang-orang kecil. Al-Quran memiliki istilah
lain, mustadh‘afîn, yakni orang-orang yang ditindas, dilemahkan.
Kelahiran memang tidak bisa kita pilih.
Tidak mungkin kita menggugat mengapa kita lahir sekarang, di zaman yang kata
banyak orang sarat kejahatan, penyelewengan, korupsi, manipulasi,
retorika-dusta, dan sejumlah kemuakan manusiawi yang lain. Tidak mungkin kita
menuntut untuk dilahirkan pada zaman kemakmuran, keemasan, keadilan, serba
mudah, atau zaman dan tempat ketika hak-hak asasi dan kehormatan diri begitu
dijunjung tinggi, atau lahir di Negara Ideal --seperti kata Plato-- atau
Madinah Fadhi-lah --Kota Utama, seperti kata Al-Farabi. Kelahiran jelas tidak
bisa ditawar-tawar, seindah dan seburuk apa pun kelahiran itu. Ia adalah anugerah
yang harus dijalani, suka atau tidak.
Dalam hidup intinya hanya dua: kebaikan dan
kejahatan. Kedua pilihan itu telah ditiupkan secara inspiratif (ilham) dalam
setiap jiwa manusia. Secara fitrah, setiap orang mampu membedakan kebaikan dari
kejahatan, setidaknya secara universal. Secara naluriah-psikologis, setiap
orang membenarkan bahwa menghormati hak asasi adalah kebaikan, sementara
meleceh-kannya berarti kejahatan; bahwa berbuat adil adalah kebaikan, sementara
bertindak tiran dan zalim adalah keburukan. Potensi ini telah “diwahyukan”
langsung oleh Sang Pencipta. Ini misalnya ditegaskan dalam beberapa ayat
berikut:
“Kami
telah menunjukkan kepada manusia dua jalan” (QS Al-Balad:10); “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
manusia (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS Al-Syams:8); “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya
jalan (yang lurus): ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (QS
Al-Insaan:3).
Karena itu, setiap orang pada dasarnya
memiliki potensi atau bakat yang sama untuk berbuat baik dan buruk. Omong
kosong kalau ada orang yang menyatakan bahwa seorang penjahat tidak berpotensi
menjadi baik. Juga dusta bila ada yang mengatakan bahwa seorang alim tidak
mempunyai bakat jadi orang jahat. Secara filosofis, setiap orang berpotensi
atau berbakat untuk menjadi satu di antara dua: baik, atau jahat. Orang sejahat
Yazid bin Muawiyah, Hitler, Pol Pot, misalnya, sebenarnya mempunyai bakat untuk
menjadi orang baik. Sebagaimana orang sesuci Nabi Muhammad SAW dan Isa bin
Maryam As pada dasarnya juga berpotensi untuk berbuat buruk. Tapi mengapa
Yazid, Hitler dan Pol Pot tidak menjadi baik, sementara Muhammad SAW dan Isa As
tidak menjadi jahat?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, para
filosof menyodorkan dua key
words: potensi dan aksi (tradisi filsafat Islam menyebut yang
pertama dengan quwwah
dan yang kedua dengan fi‘l).
Menurut mereka, setiap potensi tidak selamanya menjadi aksi (tindakan), tapi
setiap aksi selalu bermula dari potensi. Setiap orang berpotensi, misalnya,
untuk membuang sampah sembarangan. Tapi orang yang sangat peduli terhadap
kebersihan tidak akan melakukannya. Setiap orang berpotensi untuk membunuh.
Tapi seorang bermoral dan berperikemanusiaan tidak mungkin mewujudkan potensi
itu menjadi aksi. Setiap orang berpotensi untuk berdusta, atau merekayasa
kesaksian palsu. Tapi orang yang memegang teguh nilai-nilai kejujuran tidak
mungkin melakukannya. Mengapa? Jawabannya bisa alasan kesehatan, etika, moral,
agama, prinsip-prinsip kebenaran, atau yang lainnya. Mengapa Rasuulullah SAW
tidak berbuat jahat padahal Beliau SAW berpotensi untuk itu? Sebab, kalau Beliau
SAW jahat, maka Beliau SAW bukan rasul lagi. Kecintaan dan tanggung jawabnya
kepada Tuhan dan makhluk-Nya memustahilkan dirinya memanifestasikan potensi
buruknya menjadi aksi. Konsistensi Beliau SAW terhadap segala kebaikan akhirnya
menutup rapat potensi buruk itu untuk mengejawantah. Lantas mengapa Hitler
tidak menjadi baik padahal ia juga berpotensi untuk itu? Karena, kekotoran hati
dan jiwanya telah begitu pekat sehingga menutupi potensi baik itu, yang
akibatnya potensi jahatlah yang menguasai dirinya untuk mewujudkan aksi-aksi
jahat. Keseringannya melakukan aksi keburukan menyebabkan potensi baiknya
tersumbat untuk menjadi aksi.
Mengenai potensi baik dan jahat ini
sebetulnya bisa juga dipahami lewat teori cermin Imam Al-Ghazali. Orang yang
senantiasa membersihkan jiwanya, jiwanya itu laksana cermin yang bersih. Bila
penampakan realitas dianggap sebagai sebuah kebaikan, maka dalam jiwa yang
bagaikan cermin itu akan nampak seluruh realitas yang ada di hadapannya.
Sementara orang yang selalu mengotori jiwanya hingga pekat, maka jiwanya sama
sekali tidak bisa memantulkan realitas di hadapannya, sedekat dan sejelas apa
pun realitas itu. Potensi baiknya sudah begitu dalam terpendam rapat karena
ditindih oleh gumpalan kejahatannya.
Selanjutnya, dalam sphere filosofis,
pernyataan bahwa setiap manusia berpotensi atau berbakat menjadi orang baik
atau jahat, mungkin kedengarannya “datar-datar” saja. Tapi dalam wilayah atau
situasi psiko-kultural tertentu, barangkali kedengarannya sangat janggal,
bahkan bisa menyesatkan perjalanan eksistensial seseorang. Misalnya disebutkan
dalam rubrik psikologi bahwa setiap laki-laki berbakat jadi homoseksual atau
biseksual; setiap perempuan berbakat menjadi lesbi; setiap suami --seperti kata
dr. Boyke-- atau istri berbakat menyeleweng; setiap orang berbakat menjadi
pembohong; setiap penguasa berbakat menjadi tiran; setiap pengusaha berbakat
menjadi penyuap; setiap bawahan berpotensi menjadi penjilat; dan seterusnya.
Menurut penulis, dalam konteks tertentu, baik individual maupun kultural,
doktrin-doktrin semacam ini bisa sangat “berbahaya”. Sebab, ini bisa dianggap
sejenis legitimasi bagi orang-orang tertentu untuk bertindak menyimpang atau
jahat. Kelak mereka mengira bahwa deviasi dan penyelewengan adalah naluri
fitrah yang harus disalurkan. Bisa jadi nanti ada seorang suami atau istri yang
membenarkan perselingkuhannya dengan alasan bahwa itu memang bakat alami; atau
boleh jadi pula kelak ada seseorang yang membenarkan kesukaannya gonta-gonti
pacar atau pasangan dengan alasan bahwa itu adalah potensi atau bakat fitrah
manusiawi. Mereka tidak paham bahwa itu sebenarnya berada dalam konteks
filosofis, tepatnya konteks potensi belaka: potensi yang tidak wajib jadi aksi.
Jadi, kita memang harus arif, juga hati-hati.
Adakalanya memang benar apa yang dikatakan
oleh seorang ustadz: memaksa orang ke surga lebih baik dari-pada membebaskannya
ke neraka. Tapi dalam konteks eksitensial, itu hanya berlaku pada orang-orang
tertentu yang belum mampu memfungsikan kesadarannya, semisal anak-anak atau
orang-orang yang cara berpikirnya masih seperti anak-anak. Sedangkan orang
selain mereka tidak lagi patut dipaksa, meski pemaksaan itu demi sebuah surga
yang damai, sentosa, dan menyelamatkan.
Kebebasan memilih dan menentukan apa yang
ingin diperbuat, baik atas dasar nilai pragmatisme, hedonisme, utilitarinisme,
moralisme, atau semacamnya, harus tetap dipelihara. Sebab demikianlah memang
Tuhan menganugerahkan sebagian otoritas-Nya kepada manusia.
Sebagai penutup, mari kita bacakan shalawat
atas Nabi Muhammad SAW, Manusia Suci, Penyaksi kelak di Yaumil Mizan dan
Pemberi Syaf’atul ’udhma, teriring sebuah do’a: agar kita selalu bisa menjaga
dan melaksanakan risalahnya.
يا شفع الخلق الصلاة والسلام ◊
عليك نورالخلق هادي الانام
واصله وروحه ادركني ◊
فقد ظلمت ابدا وربني
وليس لى ياسيدى سوا كا ◊
فإتردكنت شخصاهالكا
ياسيّدى يارسول الله ، ياسيّدى يارسول الله ، ياسيّدى يارسول
الله
والله أعلام بالصواب
*)sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar