Oleh: Al-'Allamah Muhammad Husain Thabathabai
بسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Terjemahan ayat:
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
1. Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Surah Al-Qadr yang terdiri dari 5 ayat adalah surah ke-97 dalam Al-Quran yang terletak setelah surah Al-‘Alaq. Surah ini tergolong Makkiah yang diturunkan setelah surah 'Abasa pada tahun ke-4 setelah bi’tsah.
Penjelasan Ayat
Surah Al-Qadr menjelaskan tentang turunnya Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar dan bertujuan mengagungkan malam ini dengan menyebutnya lebih baik dari seribu bulan. Sebab pada malam itu malaikat-malaikat beserta ruh turun ke bumi. Dalam surat ini terdapat dua kemungkinan, turun di Mekah atau turun di Madinah. Sebab ada riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang asbabun nuzul (sebab turunnya) surah ini dari para Imam Ahlul Bait as, dan mufassir lain yang menegaskan surah ini turun di Madinah. Dari riwayat-riwayat tersebut menunjukkan, surah ini turun setelah Rasulullah saw bermimpi melihat Bani Umayyah naik ke mimbar beliau, melihat itu beliau sangat sedih. Untuk menghibur Rasul, Allah SWT menurunkan surah ini (dan di dalamnya Allah SWT berfirman bahwa malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan dari pemerintahan Bani Umayyah).
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Kata ganti (dhamir hu) dalam kalimat انزلناه kembali kepada Al-Qur’an. Jika dilihat secara lahir ayat, Allah SWT hendak berfirman bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan telah diturunkan pada malam Lailatul Qadar, dan bukan dengan ayat per-ayatnya. Buktinya adalah, ayat tersebut memakai kata “انزال” yang menunjukkan penurunan Al-Qur’an itu secara sekaligus, dan tidak memakai kata “تنزيل” yang menunjukkan penurunan secara ayat per-ayat.
Ayat berikut ini juga menegaskan makna ayat yang tengah kita bahas:
و الكتاب المبين انا انزلناه فى ليلة مباركة
“Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad-Dukhan: 3)
Ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa pada malam itu seluruh kitab diturunkan. Sebab zahir ayat tersebut menjelaskan, Allah SWT bersumpah pada seluruh kitab dan kemudian Allah SWT berfirman, “Kitab yang dengannya Kami bersumpah itu, telah Kami turunkan sekaligus pada satu malam penuh barakah”.
Dengan demikian, dalil ayat di atas adalah dua bentuk penurunan Al-Qur’an. Pertama secara sekaligus pada satu malam tertentu, dan kedua, secara bertahap (ayat per-ayat) selama 23 tahun masa kenabian. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut dibawah ini:
و قرآنا فرقناه لتقراه على الناس على مكث و نزلناه تنزيلا
“Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra: 106)
Begitu pula pada ayat di bawah ini:
و قال الذين كفروا لو لا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبتبه فؤادك و رتلناه ترتيلا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah[1066] supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan: 32)
Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk menerima pandangan sebagian1 yang menyatakan bahwa makna ayat انزلناه adalah, “Kami menurunkannya secara sekaligus (انزال). Dan maksud kata انزال di sini hanyalah beberapa ayat Al-Qur’an saja yang diturunkan secara sekaligus pada malam itu, dan bukan secara keseluruhan ayat Al-Qur’an”.
Dalam kalam Allah SWT, disana tidak terlihat satu ayat pun yang menjelaskan tentang apa malam Lailatul Qadar tersebut. Kecuali ayat yang berbunyi, شهر رمضان الذى انزل فيه القرآن (bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran)2 yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus pada bulan Ramadhan. Dengan menggabungkan ayat sebelumnya dengan ayat ini, menjadi jelas bahwa, malam Lailatul Qadar adalah salah satu malam dari malam-malam bulan Ramadhan. Hanya saja, dalam Al-Qur’an tak satu pun ayat yang menunjukkan pada malam manakah yang dimaksud. Karenanya, kita hanya bisa memanfaatkan riwayat yang Insya Allah SWT akan dipaparkan dalam pembahasan yang akan datang.
Dalam surah Al-Qadr ini, malam yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan dinamai dengan malam Lailatul Qadar. Dan zahir ayat menunjukkan bahwa, maksud dari Qadar adalah penentuan dan pengukuran. Jadi malam Lailatul Qadar adalah malampengukuran. Yakni, pada malamitu, Allah SWT menetapkan berbagai peristiwa setahun ke depan, yaitu dari malam Lailatul Qadar itu sampai malam Lailatul Qadar tahun depan nanti. Yakni, Allah SWT menentukan kehidupan, kematian, rezeki, keselamatan, kesesatan dan hal-hal semisalnya. Salah satu ayat surah Ad-Dukhan yang menggambarkan sifat malam Lailatul Qadar juga menunjukkan makna ini:
فيها يفرق كل امر حكيم امرا من عندنا انا كنا مرسلين رحمة من ربك
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 4-5)
Sebab kata فرق mempunyai makna memisahkan dan menetukan dari dua hal satu dengan lainnya, sementara pemisahan setiap urusan yang bijaksana hanya akan bermakna saat satu kejadian yang harus terjadi itu ditentukan dan diukur.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, malam Lailatul Qadar tidak terbatas hanya pada malam turunnya Al-Qur’an saja. Juga tidak terbatas pada tahun yang di salah satu malamnya Al-Qur’an diturunkan. Tapi dengan berulangnya tahun, malam itu pun akan terulang. Jadi, di setiap bulan Ramadhan dalam tahun Qamari terdapat malam Lailatul Qadar yang di dalamnya urusan-urusan satu tahun ke depan sampai malam Lailatul Qadar selanjutnya akan diukur dan ditentukan.
Asumsi yang mengatakan bahwa pada salah satu malam, dari malam-malam Lailatul Qadar 14 abad yang lalu, Al-Qur’an telah diturunkan secara sekaligus adalah asumsi yang bisa saja terjadi. Tapi asumsi bahwa, peristiwa-peristiwa seluruh abad yang lalu dan yang akan datang telah ditentukan pada malam tersebut adalah asumsi yang tidak benar. Selain itu, kata يفرق mempunyai makna kontuinitas, karena berbentuk sekarang (present). Dalam surah diatas yang kita bahas disebutkan bahwa, malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan. Dan juga disebutkan, para Malaikat turun pada malam itu. Jelas menunjukkan keduanya menegaskan makna kontuinitas.
Jadi disini jelas, tidak ada alasan untuk menerima penafsiran yang dilakukan oleh sebagian mufassir2 yang mengatakan, ”Sepanjang masa itu, hanya ada satu malam Lailatul Qadar yaitu malam ketika Al-Qur’an diturunkan, dan malam Lailatul Qadar tidak akan pernah terulang lagi”. Begitu pula penafsiran lain dari sebagian kalangan mufassir.3 Mereka berkata: ”Ketika Rasulullah masih hidup, malam Lailatul Qadar selalu terulang. Namun, setelah beliau wafat, malam Lailatul Qadar itu juga hilang”. Begitu pula ahli tafsir lain4 yang berkata: ”malam Lailatul Qadar adalah satu malam tertentu dalam setahun, dan bukan di bulan Ramadhan”. Pendapat dari ahli tafsir lain5 mengatakan: ”Malam Lailatul Qadar adalah satu malam, dalam setahun tapi malam Lailatul Qadar itu tidak jelas kapan dalam setahun itu, apakah pada tahun bi’tsah (penobatan sebagai Nabi), malam Lailatul Qadar terjadi, atau pada bulan Ramadhan. Di tahun-tahun lain, misalnya bisa saja malam Lailatul Qadar terjadi di bulan Sya’ban atau Zulqaidah”. Jelas sekali tak satu pun dari pendapat-pendapat diatas yang benar.
Sebagian mufassir lagi berkata11: ”Kata Qadr berarti kedudukan. Dan malam turunnya Qur’an itu disebut malam Lailatul Qadar karena disebabkan pentingnya kedudukan dan maqam malam itu atau inayah pada orang yang beribadah, yakni mereka yang beribadah di malam itu”.
Sebagian lagi berkata, ”Kata Qadr berarti sempit, dan Malam Lailatul Qadar disebut sempit karena pada malam itu bumi menjadi sempit dengan turunnya para malaikat6”. Dan jelas bahwa kedua pendapat ini sama sekali tidak mengena di hati, sebagaimana yang Anda saksikan sendiri.
Jadi, sebagaimana yang telah Anda perhatikan, kesimpulan ayat yang tengah dibahas adalah, malam Lailatul Qadar , tepatnya adalah satu malam dari malam-malam di bulan Ramadhan di setiap tahun. Dan pada setiap tahun di malam itu, semua hukum Allah SWT akan ditetapkan. Di sini kami sebut hukum, karena adanya aspek pengukuran. Anda pasti akan berkata bahwa jika demikian, tidak ada satu pun urusan yang sudah ditetapkan sedemikian rupa pada malam Lailatul Qadar dan tidak akan berubah walau dengan faktor apa pun Sebagai jawaban, kami katakan bahwa tidak demikian, di sana tidak ada pertentangan sama sekali jika satu urusan telah ditetapkan pada malam Lailatul Qadar, tapi mungkin saja terjadi perbedaan dengan yang sudah ditetapkan. Sebab kualitas perwujudan yang sudah ditetapkan adalah satu hal, dan perubahan takdir juga satu hal lain. Sebagaimana tidak ada pertentangan sama sekali antara peristiwa-peristiwa yang telah ditentukan di Lauh Mahfuz, tapi karena keinginan-Nya, Allah SWT mengubah peristiwa-peristiwa tersebut. Sebagaimana dalam Al-Qur’an disebutkan:
يمحوا الله ما يشاء و يثبت و عنده ام الكتاب
“Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)” (QS. Ar-Ra’d: 39)
Selain itu, menurut perwujudannya, kekokohan berbagai urusan memiliki gradasi tertentu. Sebagian urusan memiliki potensi dan kondisi-kondisi sempurna untuk terwujud. Tapi sebagian urusan lain memiliki potensi dan kondisi yang tidak sempurna. Dan bisa saja pada malam Lailatul Qadar itu, sebagian gradasi hukum telah ditentukan, dan sebagin lagi dilakukan di waktu yang lain. Tapi hasil yang diperoleh dari riwayat-riwayat—yang akan segera dibawakan pada pembaca nanti—tidak bertentangan.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
Ayat diatas mengungkapkan kebesaran kadar malam itu, dan keagungan posisinya. Sebab, walaupun bisa saja pada ayat kedua ini dipakai kata ganti, tapi kata ليلة القدر kembali diulang. Lebih jelasnya, meskipun bisa saja Allah SWT menfirkankan, و ما ادريك ما هى، هى خير من الف شهر, namun untuk kedua dan bahkan ketiga kalinya kata ليلة القدر kembali digunakan dan diulang.
َليْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْر
Secara ringkas, kalimat ini telah menjelaskan apa yang telah diisyaratkan dalam ayat و ما ادريك ما ليلة القدر, yaitu kebesaran malam Lailatul Qadar. Allah SWT dalam Al-Qur’an bersabda: “Kami menyebutnya demikian, karena malam itu memiliki kedudukan mulia yang lebih baik dari seribu bulan”.
Maksud malam Lailatul Qadar lebih lebih baik dari seribu bulan sebagaimana penafsiran para ahli tafsir adalah dari sisi keutamaan ibadah. Hal ini juga sesuai dengan tujuan Al-Qur’an. Sebab seluruh inayah Al-Qur’an adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah SWT dan menghidupkan manusia lewat ibadah. Dan menghabiskan malam dengan ibadah itu lebih baik dari ibadah seribu malam. Mungkin saja makna ini juga disimpukan dari salah satu ayat surah Ad-Dukhan, sebab dalam ayat itu menyebut, malam Lailatul Qadar sebagai malam yang penuh berkah.
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
Kataتنزل berasal dari kata تتنزل secara zahir, yang dimaksud dengan ruh dalam ayat ini adalah ruh yang berasal dari alam amr yang tentangnya Allah SWT berfirman, قل الروح من امر ربى (Katakanlah! Ruh adalah urusan Tuhanku)15.
Izin dalam segala sesuatu itu berarti memberi kesempatan di dalamnya, atau dengan kata lain menyatakan akan tidak ada halangan untuk melakukannya.
Menurut sebagian mufassir9, kata من (dari) dalam kalimat من كل امر bermakna باء (dengan).
Sebagian lagi10 berkata: من memiliki maknanya sendiri, yaitu awal tujuan, meski menunjukkan makna sebab.
Demikian mereka mengartikan ayat tersebut, “dengan izin Tuhannya, pada malam itu malaikat dan ruh turun disebabkan segala urusan Ilahi.”
Sebagian lagi11 mengatakan, باء berarti menjelaskan sebab menuju tujuan (ta’lil be goyat) dan maknanya berarti, dengan izin Tuhannya, malaikat dan ruh turun dalam rangka mengurus segala urusan.
Tapi, jika yang dimaksud dengan urusan (امر) adalah urusan Ilahi yang ditafsirkan oleh ayat انما امره اذا اراد شيئا ان يقول له كن فيكون (Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.)19, maka huruf من dalam ayat tersebut menunjukkan akan makna permulaan, dan pada saat yang sama mempunyai makna sebab, dengan demikian ayat tersebut akan bermakna demikian; “Dengan izin Tuhannya, pada malam itu malaikat dan ruh memulai perjalanan turun dan menyampaikan urusan-urusan Ilahi”.
Dan apabila yang dimaksud dengan urusan tersebut di atas adalah urusan yang berhubungan dengan penciptaan sesuatu (Takwini) dan peristiwa yang harus terjadi, maka huruf من dalam ayat tersebut akan menjelaskan sebab. Dengan demikian ayat tersebut bermakna demikian: “Dengan izin Tuhannya, pada malam itu malaikat dan ruh akan turun untuk mengatur satu urusan dar urusan-urusan dunia”.
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Dalam Mufradat disebutkan, kata kedamaian (سلام) dan keamanan (سلامة) berarti terbebas dari kerusakan secara lahir dan batin.12
Maka kalimat سلام هى itu mengisyaratkan adanya inayah Ilahi, bahwa pintu azab-Nya tertutup, yang berarti Allah SWT tidak mengirimkan azab baru. Dan kelaziman makna ini adalah tipuan para setan juga tidak berpengaruh di malam itu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sebagian riwayat.
Tapi sebagian mufassir21 berkata: Maksud dari kata سلام adalah bahwa, pada malam itu malaikat akan memberi salam pada setiap mukmin yang sibuk beribadah. Makna ini kembali pada makna awal dan kedua ayat ini, yaitu تنزل الملئكة و الروح sampai akhir surah, pada hakikatnya menafsirkan ayat sebelumnya yaitu ليلة القدر خير من الف شهر
Kajian Riwayat
Dalam Tafsir Burhan dari Syaikh Thusi, telah diriwayatkan bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah, “Apakah malam Lailatul Qadar adalah malam yang dijanjikan kepada para Nabi dan diturunkan urusan-urusan pada mereka. Tapi karena mereka sudah meninggal dunia, maka urusan-urusan tersebut diliburkan pada malam tersebut?” Rasulullah bersabda; “Tidak, malam Lailatul Qadar ada sampai hari Kiamat.” 14
Penulis buku tersebut berkata, banyak riwayat Ahli Sunnah yang masuk terkait dengan makna ini.15
Dalam tafsir Majma Al-Bayan, telah dinukil dari Himad bin Utsman dari Hisan bin Abi ‘Ali yang berkata: “Aku bertanya pada Imam Shadiq as tentang malam Lailatul Qadar”. Beliau bersabda: “Carilah dalam malam-malam ke-19, ke-21 dan ke-23”.16
Selanjutnya, penulis buku tersebut mengatakan, “Terdapat riwayat lain yang sesuai dengan maksud riwayat ini. Dan dalam sebagian riwayat, terdapat keraguan antara dua malam yaitu malam ke-21 dan malam ke-23”. Sebagai contoh, riwayat yang datang dari Ayyasyi dari Abdul Wahid dari Imam Baqir as.17 Dan riwayat-riwayat lainnya dapat disimpulkan bahwa, malam Lailatul Qadar adalah malam ke-23. Sementara dalam riwayat yang di dalamnya tidak ditentukan mana malam Lailatul Qadar, yang tak lain adalah untuk menjaga kemuliaannya agar hamba-hamba Allah SWT tidak menghinakannya dengan melakukan dosa.18
Dan dalam Tafsir Ayyasyi, dari riwayat Abdullah bin Bakir, dari Zurarah menemui salah satu Imam (antara Imam Baqir as atau Imam Shadiq as) kemudian ia berkata, “Malam ke-23 adalah malam Juhni (seorang sahabat Nabi), Dan dalam hadis Juhni dikatakan bahwa -seorang bernama Juhni- berkata “Aku bertanya kepada Rasulullah, rumah saya jauh dari Madinah, tolong beri saya petunjuk agar saya datang ke Madinah pada malam-malam tertentu” Rasul berkata: “Datanglah pada malam ke-23”.19
Penulis buku tersebut melanjutkan, hadis dari Juhni yang nama aslinya adalah ‘Abdullah bin Anis Anshari juga diriwayatkan oleh Ahlu Sunnah dan Suyuthi yang menukilnya dalam buku Ad-Dur Al-Mantsur dari Malik dan Baihaqi. 20
Dalam kitab Al-Kafi, -dengan sanadnya yang diriwayatkan oleh Zurarah- menyebutkan, Imam Shadiq as bersabda, “Penentuan kadar (sesuatu) pada malam ke-19, pengesahan pada malam ke-21 dan penetapan pada malam ke-23”.21
Penulis buku tersebut melanjutkan, terdapat riwayat-riwayat lain yang dari sisi makna mempunyai kesamaan dengan riwayat ini. 22
Maka jelaslah, kesimpulan dari berbagai riwayat dari pra Imam Ahlul Bait as bahwa, malam Lailatul Qadar tetap ada sampai hari kiamat nanti dan asenantiasa terulang setiap tahun, malam Lailatul Qadar adalah satu malam dari malam-malam bulan Ramadhan, dan salah satu malam dari malam ke-19, ke-21 dan ke-23.
Sementara dalam berbagai riwayat Ahlu Sunnah terdapat perbedaan luar biasa yang tidak bisa digabungkan sama sekali. Hanya saja yang terkenal di kalangan Ahlu Sunnah adalah bahwa malam Lailatul Qadar adalah malam ke-27, dan di malam itulah Al-Qur’an diturunkan. 23
Dalam Ad-Dur Al-Mantsur, Khatib meriwayatkan dari Ibnu Musayyib yang berkata: Rasulullah saw bersabda: “Dalam mimpi diperlihatkan kepadaku Bani Umayyah naik ke mimbarku. Hal ini sangat memberatkanku”. Dan bertepatan dengan peristiwa ini, Allah SWT menurunkan surah
انا انزلناه فى ليلة القدر”. 24
Penulis buku tersebut berkata, riwayat-riwayat seperti ini juga ditulis oleh Khatib dalam buku sejarahnya, Turmuzi, Ibnu Jarir, Thabrani, Ibnu Mardawiyah dan Baihaqi. Mereka semua menukil riwayat yang semakna dengan riwayat di atas lewat Hasan bin ‘Ali.25 Sementara, banyak sekali riwayat Syiah yang semakna dengan riwayat diatas dari para Imam Ahlul Bait as, bahwa Allah SWT telah menghadiahkan malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan kekuasaan Bani Umayyah sebagai penghibur hati Rasulullah saw.27
Dan dalam Kafi dengan sanad dari Ibnu Abi ‘Umair, dari sekelompok rawi dari Imam Shadiq as telah diriwayatkan bahwa, sebagian sahabat Imamiyah, seperti Said bin Saman pada suatu hari bertanya kepada Imam Shadiq as, “Bagaimana mungkin malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan?” (padahal dalam seribu bulan itu ada satu malam Lailatul Qadar dalam setiap 12 bulannya). Imam bersabda, “Beribadahlah pada malam Lailatul Qadar, karena lebih baik dari ibadah seribu bulan yang di dalamnya tidak ada malam Lailatul Qadar”.28
Dan dalam kitab Kafi tersebut, yang sanadnya dari Fudhail, Zurarah dan Muhammad bin Muslim yang diriwayatkan dari Hamran bahwa, seseorang bertanya berkenaan dengan makna ayat
انا انزلناه فى ليلة مباركة pada Imam Baqir as. Lalu beliau bersabda: “Ya, Malam Lailatul Qadar yang setiap tahun di bulan ramadhan pada sepuluh terakhir itu selalu baru”. Tidak lain adalah malam yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan. Dan tentang malam itu Allah SWT berfirman فيها يفرق كل امر حكيم Kemudian Imam Baqir as melanjutkan dan bersabda, “Pada malam itu, setiap peristiwa harus terjadi, apakah peristiwa baik atau buruk, ketaatan atau kemaksiatan, anak yang akan dilahirkan, atau ajal yang akan datang, atau rezeki yang luas atau sempit akan ditetapkan. Maka apa yang sudah ditetapkan di malam itu, dan qadha-nya telah disampaikan, adalah qadha (ketetapan) yang pasti. Tapi pada saat yang sama, kehendak Allah SWT akan tetap terjaga di dalamnya.
Himran berkata, “Apakah yang dimaksud Allah SWT ketika berfirman bahwa malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan”? Imam bersabda, “Amal shaleh seperti shalat, zakat dan berbagai kebaikan pada malam itu, lebih baik dari amal-amal dalam seribu bulan yang di dalamnya tidak ada Malam Lailatul Qadar. Dan jika Allah SWT tidak melipatgandakan pahala amal baik kaum mukminin, maka kaum mukminin tidak akan mencapai kedudukan apapun. Tapi Allah SWT telah melipatgandakan pahala kebaikan-kebaikan mereka”.27
Penulis buku tersebut berkata, maksud Imam baqir as, ketika bersabda: “Tapi keinginan Allah SWT terjaga di dalamnya adalah menunjukkan kekuatan Allah SWT selalu mutlak. Allah SWT akan melaksanakan apa saja yang dikehendaki di setiap masa, meski sebelumnya itu bertentangan dengan dengan hal yang telah dipastikan sebelumnya. Ringkasnya, sesuatu hal yang sudah dipastikan dan sudah ditentukan-Nya adalah satu ketentuan, dan tidak berarti membatasi kekuatan mutlak Allah SWT. Karena Allah SWT juga dapat mengubah qadha-Nya yang sudah pasti tersebut, meski Allah SWT tidak akan pernah berbuat demikian.
Dalam kitab Majma’ telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda, “Pada malam Lailatul Qadar, malaikat-malaikat yang berada di Sidhratul Muntaha, dan salah satu di antara mereka adalah Malaikat Jibril akan turun. Dan Jibril akan turun bersama yang lainnya sambil membawa bendera-bendera. Satu bendera akan dipasang di atas makamku, satu lagi di atas Baitul Muqaddas, satu lagi di atas Masjidil Haram dan satunya lagi di Bukit Sina. Dan tak satu pun pria mukmin dan wanita mukminah di tempat-tempat ini yang tidak mendapat salam Jibril, kecuali mereka yang selalu minum arak atau terbiasa memakan atau mengoles tubuhnya dengan za’faran”.30
Dan dalam Tafsir Al-Burhan, telah diriwayatkan dari Sa’d bin ‘Abdullah yang dengan sanadnya diriwayatkan dari Abi Bashir: “Aku bersama dengan Imam Shadiq as ketika beliau mengucapankan sesuatu yang berkaitan dengan karakter Imam saat dilahirkan. Imam bersabda, Saat malam Lailatul Qadar, Imam di temui oleh ruh yang menjawab. Aku berkata: “Saya menjadi tebusan Anda, apakah ruh itu bukan Jibril? Imam bersabda: “Ruh lebih besar dari Jibril dan Jibril sejenis malaikat, sedangkan ruh tidak sejenis dengannya. Apakah kamu tidak melihat Allah SWT berfirman, تنزل الملئكة و الروح Jadi jelaslah bahwa ruh bukanlah Malaikat”.31
Penulis buku tersebut berkata, riwayat-riwayat tentang makna, karakter dan keutamaan malam Lailatul Qadar sangatlah banyak (secara ringkas telah kami bawakan di sini) dan dalam sebagian riwayat, telah disebutkan cirri dan tanda-tanda malam Lailatul Qadar, misalnya, subuh hari sebelum malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa pancaran sinar, suhu udara pagi itu seimbang. Hanya saja, karena tanda-tanda ini tidak kekal dan tidak selalunya demikian, maka itu kami tidak menyebutkan riwayat-riwayat tersebut di sini.
1. Majma’ Al-Bayan, jil. 10, hal. 518.
2. Surah Al-Baqarah: 185.
3. Tafsir Qurthubi, jil. 20, hal. 135.
4. Majma’ Al-Bayan, jil. 10, hal. 518.
5. Tafsir Qurthubi, jil. 20, hal. 135.
6. Ruh Al-Ma’ani, jld. 30, hal. 190.
7. Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hal. 518.
8. Ibid.
9. Ruh Al-Ma’ani, jld. 30, hal. 196.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Mufradat Raghib, kata سلم.
13. Rul Al-Ma’ani, jld. 30, hal. 197.
14. Tafsir Al-Burhan, jld. 4, hal. 488.
15. Ad-Dur Al-Mantsur, jld. 6, hal. 371.
16. Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hal. 519.
17. Ibid.
18. Ibid.
19. Ibid.
20. Majma’ Al-Bayan, jld. 6, hal. 373.
21. Furu’ Kafi, jil. 4, hal. 627.
22. Nur Ats-Tsaqalain, jld. 5, hal. 627.
23. Rujuk buku Ad-Dur Al-Mantsur serta kitab-kitab hadis lainnya.
24. Ad-Dur Al-Mantsur, jld. 6, hal. 371.
25. Ibid.
26. Nur Ats-Tsaqalain, jld. 5, hal. 621-623.
27. Furu’ Kafi, jld. 4, hal. 157.
28. Ibid.
29. Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hal. 520.
30. Tafsir Burhan, jld. 4, hal. 481
Al-Mizan fi At-Tafsîr Al-Qur’ân, jld. 20, hal.
*) Sumber : http://www.taqrib.info/indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar